Sabtu, 08 Juni 2013

BAB 6 Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal PENDAHULUAN alam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan nonverbal secara bersama-sama. Keduanya, bahasa verbal dan nonverbal, memiliki sifat holistik, bahwa masing-masing tidak dapat saling dipisahkan. Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa nonverbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Namun lambang-lambang nonverbal juga dapat berfungsi kontradiktif, pengulangan bahkan pengganti ungkapan-ungkapan verbal. Ketika kita menyatakan terima kasih (bahasa verbal), kita melengkapinya dengan tersenyum (bahasa nonverbal); kita setuju terhadap pesan yang disampaikan orang lain dengan anggukan kepala (bahasa nonverbal). Dua peristiwa komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan nonverbal bekerja secara bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku komunikasi. Modul ini akan membahas komunikasi verbal dan nonverbal dalam tataran teoretis. Namun, guna mempermudah memahaminya, kedua lambang komunikasi tersebut dipisahkan pembahasannya. Bahasan dalam modul ini akan terdiri dari empat kegiatan belajar. Pertama, bahasan akan diawali dengan bagaimana memahami komunikasi verbal dan nonverbal dilihat dari perbedaan di antara keduanya. Sedangkan kegiatan belajar kedua akan mendeskripsikan tentang komunikasi nonverbal. Hal-hal yang akan dibicarakan adalah bagaimana. memahami komunikasi nonverbal, dan sejarah atau perkembangan dari studi komunikasi nonverbal. Kegiatan belajar tiga akan membahas beberapa pendekatan yang mendasari teori-teori dalam komunikasi nonverbal. Kegiatan belajar keempat akan mengungkapkan tindak komunikasi verbal yang uraiannya akan mencakup pengertian bahasa, sifat bahasa, dan pemahaman teoretik tentang komunikasi verbal. Masing-masing kegiatan belajar akan membahas dengan lebih rinci beberapa aspek penting yang berkaitan dengan kegiatan belajar tersebut. Karenanya, mempelajari materi dari modul ini dengan cermat merupakan D Modul 6 Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 2 langkah terbaik untuk memahami tindak komunikasi yang menggunakan lambang-lambang verbal dan nonverbal. Setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami peristiwa-peristiwa komunikasi yang dalam pelaksanaannya menggunakan lambang-lambang verbal dan nonverbal. Setelah mempelajari masing-masing kegiatan belajar dengan baik, Anda diharapkan mampu: 1. menguraikan dengan lebih rinci karakteristik komunikasi verbal dan nonverbal; 2. menjelaskan ciri, fungsi, dan kategori komunikasi nonverbal; 3. menguraikan latar belakang sejarah dari komunikasi nonverbal; 4. mengenal dan menjelaskan beberapa pendekatan teoritis dalam komunikasi nonverbal; 5. menjelaskan pengertian bahasa; 6. menguraikan sifat bahasa; 7. mengenal dan menjelaskan beberapa pendekatan teoritis dalam komunikasi verbal. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 3 KEGIATAN BELAJAR 1 Pemahaman mengenai Komunikasi Verbal dan Nonverbal etidaknya ada tiga ciri utama yang menandai wujud atau bentuk komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Pertama, lambang- lambang nonverbal digunakan paling awal sejak kita lahir di dunia ini, sedangkan setelah tumbuh pengetahuan dan kedewasaan kita, barulah bahasa verbal kita pelajari. Kedua, komunikasi verbal dinilai kurang universal dibanding dengan komunikasi nonverbal, sebab bila kita pergi ke luar negeri misalnya dan kits tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh masyarakat di negara tersebut, kita bisa menggunakan isyarat-isyarat nonverbal dengan orang asing yang kita ajak berkomunikasi. Dan ciri yang ketiga adalah, bahwa komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa nonverbal yang lebih merupakan aktivitas emosional. Artinya, bahwa dengan bahasa verbal, sesungguhnya kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak, sementara melalui bahasa nonverbal, kita mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian, perasaan dan emosi yang kita miliki. 1. Definisi Sebelum terlalu jauh kita memahami komunikasi verbal dan nonverbal, ada baiknya kita mengawalinya dengan mendeskripsikan definisi atau batasan mengenai komunikasi nonverbal. Mengapa hanya komunikasi nonverbal saja yang didefinisikan? Don Stacks dalam bukunya Introduction to Communication Theory menjelaskan bahwa perhatian untuk mempelajari aspek-aspek dalam komunikasi nonverbal masih sangat kecil, sehingga dari banyak referensi tentang komunikasi antarmanusia, kita lebih banyak menemukan batasan mengenai komunikasi verbal. Dicontohkannya Frank EX Dance dan Carl E. Larson menawarkan lebih dari seratus definisi tentang komunikasi verbal, namun mereka hanya menawarkan satu definisi tentang komunikasi nonverbal. Dengan landasan inilah, kita mencoba untuk lebih banyak memberi penekanan pada definisi komunikasi nonverbal. Secara sederhana, komunikasi nonverbal dapat didefinisikan sebagai berikut: Non berarti tidak, verbal bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. S Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 4 Menurut Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut dengan vocal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan mulut dan verbal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata. Dengan demikian, definisi kerja dari komunikasi nonverbal adalah pesan lisan dan bukan lisan yang dinyatakan melalui alat lain di luar alat kebahasaan (oral and nonoral messages expressed by other than linguistic means). Untuk memahami dengan lebih jelas, kita dapat melihat tabel mengenai tipe-tipe komunikasi berikut ini. TABEL TIPE-TIPE KOMUNIKASI KOMUNIKASI VOKAL NONVOKAL KOMUNIKASI VERBAL Bahasa Lisan Bahasa Tertulis (spoken words) (written words) KOMUNIKASI NONVERBAL Nada suara Isyarat (gesture), (tone of voice), gerakan (movement), Desah (sighs) penampilan jeritan (screams), (appearance), kualitas vokal ekspresi wajah (vocal quality) (facial expression) Sumber : Ronald B. Adler, George Rodman, Understanding Human Communica tion, Second Edition, hal.96 Tabel tipe-tipe komunikasi di atas dapat dibaca sebagai berikut: komunikasi verbal yang termasuk dalam komunikasi vokal adalah bahasa lisan, sedang yang tergolong dalam komunikasi nonvokal adalah bahasa tertulis. Sementara, komunikasi nonverbal yang termasuk dalam komunikasi Vokal adalah nada suara, desah, jeritan dan kualitas vokal; dan yang termasuk dalam klasifikasi komunikasi nonvokal adalah isyarat, gerakan (tubuh), penampilan (fisik), ekspresi wajah dan sebagainya. Atau kita dapat Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 5 membaca tabel di atas secara terbalik, diawali dengan komunikasi vokal dan nonvokal terlebih dahulu. Batasan lain mengenai komunikasi nonverbal dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya, yaitu. a. Frank EX Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content meaning). b. Edward Sapir: Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all). c. Malandro dan Barker yang dikutip dari Ilya Sunarwinadi: Komunikasi Antar Budaya memberikan batasan-batasannya sebagai berikut. 1) Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata. 2) Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara. 3) Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain. 4) Komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain. 2. Perbedaan antara Komunikasi Verbal dan Nonverbal Secara sekilas telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa antara komunikasi verbal dan nonverbal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dalam arti. kedua bahasa tersebut bekerja bersama-sama untuk menciptakan suatu makna. Namun, keduanya juga memiliki perbedaan- perbedaan. Dalam pemikiran Don Stacks dan kawan-kawan, ada tiga perbedaan utama di antara keduanya yaitu kesengajaan pesan (the intentionality of the message), tingkat simbolisme dalam tindakan atau pesan (the degree of symbolism in the act or message), dan pemrosesan mekanisme (processing mechanism). Kita mencoba untuk menguraikannya satu per satu. a. Kesengajaan (intentinolity) Satu perbedaan utama antara komunikasi verbal dan nonverbal adalah persepsi mengenai niat (intent). Pada umumnya niat ini menjadi lebih penting ketika kita membicarakan lambang atau kode verbal. Michael Burgoon dan Michael Ruffner menegaskan bahwa sebuah pesan verbal adalah komunikasi kalau pesan tersebut 1) dikirimkan oleh sumber dengan sengaja dan 2) diterima oleh penerima secara sengaja pula. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 6 Komunikasi nonverbal tidak banyak dibatasi oleh niat. atau intent tersebut. Persepsi sederhana mengenai niat ini oleh seorang penerima sudah cukup dipertimbangkan menjadi komunikasi nonverbal. Sebab, komunikasi nonverbal cenderung kurang dilakukan dengan sengaja dan kurang halus apabila dibandingkan dengan komunikasi verbal. Selain itu, komunikasi nonverbal mengarah pada norma-norma yang berlaku, sementara niat atau intent tidak terdefinisikan dengan jelas. Misalnya, norma-norma untuk penampilan fisik. Kita semua berpakaian, namun berapa Bering kita dengan sengaja berpakaian untuk sebuah situasi tertentu? Berapa kali seorang teman memberi komentar terhadap penampilan kita? Persepsi receiver mengenai niat ini sudah cukup untuk memenuhi persyaratan guna mendefinisikan komunikasi nonverbal. b. Perbedaan perbedaan simbolik (symbolic differences) Kadang-kadang niat atau intent ini dapat dipahami karena beberapa dampak simbolik dari komunikasi kita. Misalnya, memakai pakaian dengan warna atau model tertentu, mungkin akan dipahami sebagai suatu `pesan' oleh orang lain (misalnya berpakaian dengan warna hitam akan diberi makna sebagai ungkapan ikut berduka cita). Komunikasi verbal dengan sifat-sifatnya merupakan sebuah bentuk komunikasi yang diantarai (mediated form of communication). Dalam arti kita mencoba mengambil kesimpulan terhadap makna apa yang diterapkan pada suatu pilihan kata. Kata-kata yang kita gunakan adalah abstraksi yang telah disepakati maknanya, sehingga komunikasi verbal bersifat intensional dan harus 'dibagi' (shared) di antara orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi. Sebaliknya, komunikasi nonverbal lebih alami, isi beroperasi sebagai norma dan perilaku yang didasarkan pada norma. Mehrabian menjelaskan bahwa komunikasi verbal dipandang lebih eksplisit dibanding bahasa nonverbal yang bersifat implisit. Artinya, isyarat-isyarat verbal dapat didefinisikan melalui sebuah kamus yang eksplisit dan lewat aturan-aturan sintaksis (kalimat), namun hanya ada penjelasan yang samar-samar dan informal mengenai signifikansi beragam perilaku nonverbal. Mengakhiri bahasan mengenai perbedaan simbolik ini, kita mencoba untuk melihat ketidaksamaan antara tanda (sign) dengan lambang (simbol). Tanda adalah sebuah representasi alami dari suatu kejadian atau tindakan. la adalah apa yang kita lihat atau rasakan. Sedangkan lambang merupakan sesuatu yang ditempatkan pada sesuatu yang lain. Lambang merepresentasikan tanda melalui abstraksi. Contoh, tanda dari Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 7 sebuah kursi adalah kursi itu sendiri, sedangkan lambang adalah bagaimana kita menjelaskan kursi tersebut melalui abstraksi. Dengan perkataan lain, apa yang secara fisik menarik bagi kita adalah tanda (sign) dan bagaimana menciptakan perbedaan yang berubah-ubah untuk menunjukkan derajat ketertarikan tersebut adalah lambang (simbol). Komunikasi verbal lebih spesifik dari bahasa nonverbal, dalam arti is dapat dipakai untuk membedakan hal-hal yang sama dalam sebuah cara yang berubah-ubah, sedangkan bahasa nonverbal lebih mengarah pada reaksi-reaksi alami seperti perasaan atau emosi. c. Mekanisme pemrosesan (processing mechanism) Perbedaan ketiga antara komunikasi verbal dan nonverbal berkaitan dengan bagaimana kita memproses informasi. Semua informasi termasuk komunikasi diproses melalui otak, kemudian otak kita menafsirkan informasi ini lewat pikiran yang berfungsi mengendalikan perilaku- perilaku fisiologis (refleks) dan sosiologis (perilaku yang dipelajari dan perilaku sosial). Satu perbedaan utama dalam pemrosesan adalah dalam tipe informasi pada setiap belahan otak. Secara tipikal, belahan otak sebelah kiri adalah tipe informasi yang lebih tidak berkesinambungan dan berubah-ubah, sementara belahan otak sebelah kanan, tipe informasinya Iebih berkesinambungan dan alami (pada uraian di bawah, Malandro dan Barker juga menjelaskan mengenai hal ini). Berdasarkan pada perbedaan tersebut, pesan-pesan verbal dan nonverbal berbeda dalam konteks struktur pesannya. Komunikasi nonverbal kurang terstruktur. Aturan-aturan yang ada ketika kita berkomunikasi secara nonverbal adalah lebih sederhana dibanding komunikasi verbal yang mempersyaratkan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis. Komunikasi nonverbal secara tipikal diekspresikan pada saat tindak komunikasi berlangsung. Tidak seperti komunikasi verbal, bahasa nonverbal tidak bisa mengekspresikan peristiwa komunikasi di masa lalu atau masa mendatang. Selain itu, komunikasi nonverbal mempersyaratkan sebuah pemahaman mengenai konteks di mana interaksi tersebut terjadi, sebaliknya komunikasi verbal justru menciptakan konteks tersebut. Perbedaan lain tentang komunikasi verbal dan nonverbal dapat dilihat dari dimensi-dimensi yang dimiliki keduanya. Gagasan ini dicetuskan oleh Malandro dan Barker seperti yang dikutip dalam buku Komunikasi Antar Budaya tulisan Dra. Ilya Sunarwinadi, M.A. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 8 a. Struktur >< Nonstruktur Komunikasi verbal sangat terstruktur dan mempunyai hukum atau aturan-aturan tata bahasa. Dalam komunikasi nonverbal hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali struktur formal yang mengarahkan komunikasi. Kebanyakan komunikasi nonverbal terjadi secara tidak disadari, tanpa urut-urutan kejadian, yang dapat diramalkan sebelumnya. Tanpa pola yang jelas, perilaku nonverbal yang sama dapat memberi arti yang berbeda pada saat yang berlainan. b. Linguistik >< Nonlinguistik Linguistik adalah ilmu yang mempelajari anal usul, struktur, sejarah, variasi regional dan ciri-ciri fonetik dari bahasa. Dengan kata lain, linguistik mempelajari macam-macam segi bahasa verbal, yaitu suatu sistem dari lambang-lambang yang sudah diatur pemberian maknanya. Sebaliknya. pada komunikasi nonverbal, karena tidak adanya struktur khusus, maka sulit untuk memberi makna pada lambang. Belum ada sistem bahasa nonverbal yang didokumentasikan, walaupun ada usaha untuk memberikan arti khusus pada ekspresi-ekspresi wajah tertentu. Beberapa teori mungkin akan memberikan pengecualian pada bahasa kaum tuna-rungu yang berlaku universal, sekalipun ada juga lambang-lambangnya yang bersifat unik. c. Sinambung (continuous) >< Tidak Sinambung (discontinuous) Komunikasi nonverbal dianggap bersifat sinambung, sementara komunikasi verbal didasarkan pada unit-unit yang terputus-putus. Komunikasi nonverbal baru berhenti bila orang yang terlibat di dalamnya meninggalkan suatu tempat. Tetapi selama tubuh, wajah dan kehadiran kita masih dapat dipersepsikan oleh orang lain atau diri kita sendiri, berarti komunikasi nonverbal dapat terjadi. Tidak sama halnya dengan kata-kata dan simbol dalam komunikasi verbal yang mempunyai titik awal dan akhir yang pasti. d. Dipelajari >< Pemrosesan dalam Bagian Otak sebelah Kanan Pendekatan neurofisiologik melihat perbedaan dalam pemrosesan stimuli verbal dan nonverbal pada diri manusia. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana kebanyakan stimuli nonverbal diproses dalam bagian otak Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 9 sebelah kanan, sedangkan stimuli verbal yang memerlukan analisis dan penalaran, diproses dalam bagian otak sebelah kiri. Dengan adanya perbedaan ini, maka kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan berbeda pula. Masih dalam buku Komunikasi Antar Budaya karya Ilya SunarwinadiSamovar, Porter dan Jain melihat perbedaan antara komunikasi verbal dan nonverbal dalam hal sebagai berikut. a. Banyak perilaku nonverbal yang diatur oleh dorongan-dorongan biologik. Sebaliknya komunikasi verbal diatur oleh aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang dibuat oleh manusia, seperti sintaks dan tata bahasa. Misalnya, kita bisa secara sadar memutuskan untuk berbicara, tetapi dalam berbicara secara tidak sadar pipi menjadi memerah dan mata berkedip terus-menerus. b. Banyak komunikasi nonverbal serta lambang-lambangnya yang bermakna universal. Sedangkan komunikasi verbal lebih banyak yang bersifat spesifik bagi kebudayaan tertentu. c. Dalam komunikasi nonverbal bisa dilakukan beberapa tindakan sekaligus dalam suatu waktu tertentu, sementara komunikasi verbal terikat pada urutan waktu. d. Komunikasi nonverbal dipelajari sejak usia sangat dini. Sedangkan penggunaan lambang berupa kata sebagai alat komunikasi membutuhkan masa sosialisasi sampai pada tingkat tertentu. e. Komunikasi nonverbal lebih dapat memberi dampak emosional dibanding komunikasi verbal. 3. Fungsi Komunikasi Verbal dan Nonverbal Meskipun komunikasi verbal dan nonverbal memiliki perbedaan- perbedaan, namun keduanya dibutuhkan untuk berlangsungnya tindak komunikasi yang efektif. Fungsi dari lambang-lambang verbal maupun nonverbal adalah untuk memproduksi makna yang komunikatif. Secara historis, kode nonverbal sebagai suatu multi saluran akan mengubah pesan verbal melalui enam fungsi: pengulangan (repetition), berlawanan (contradiction), pengganti (substitution), pengaturan (regulation), penekanan (accentuation) dan pelengkap (complementation). Dalam tahun 1965, Paul Ekman menjelaskan bahwa pesan nonverbal akan mengulang atau meneguhkan pesan verbal. Misalnya dalam suatu lelang, kita mengacungkan satu jari untuk menunjukkan jumlah tawaran yang kita minta, sementara secara verbal kila mengatakan "satu'. Pesan-pesan nonverbal juga berfungsi untuk mengkontradiksikan atau menegaskan pesan verbal seperti dalam sarkasme atau sindirian-sindiran tajam. Kadang-kadang, Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 10 komunikasi nonverbal mengganti pesan verbal. Misalnya, kita tidak perlu secara verbal menyatakan kata "menang", namun cukup hanya mengacungkan dua jari kita membentuk huruf `V' (victory) yang bermakna kemenangan. Fungsi lain dari komunikasi nonverbal adalah mengatur pesan verbal. Pesan-pesan nonverbal berfungsi untuk mengendalikan sebuah interaksi dalam suatu cara yang sesuai dan halus, seperti misalnya anggukan kepala selama percakapan berlangsung. Selain itu, komunikasi nonverbal juga memberi penekanan kepada pesan verbal, seperti mengacungkan kepalan tangan. Dan akhirnya fungsi komunikasi nonverbal adalah pelengkap pesan verbal dengan mengubah pesan verbal, seperti tersenyum untuk menunjukkan rasa bahagia kita. Pemikiran yang sama juga diungkapkan oleh Samovar (Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya), bahwa dalam suatu peristiwa komunikasi, perilaku nonverbal digunakan secara bersama-sama dengan Bahasa verbal: a. Perilaku nonverbal memberi aksen atau penekanan pada pesan verbal. Misalnya menyatakan terima kasih dengan tersenyum. b. Perilaku nonverbal sebagai pengulangan dari bahasa verbal. Misalnya menyatakan arah tempat dengan menjelaskan "Perpustakaan Universitas Terbuka terletak di belakang gedung ini", kemudian mengulang pesan yang sama dengan menunjuk arahnya. c. Tindak komunikasi nonverbal melengkapi pernyataan verbal, misalnya mengatakan maaf pada teman karena tidak dapat meminjamkan uang; dan agar lebih percaya, pernyataan itu ditambah lagi dengan ekspresi muka sungguh-sungguh atau memperlihatkan saku atau dompet yang kosong. d. Perilaku nonverbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal. misalnya menyatakan rasa haru tidak dengan kata-kata, melainkan dengan mata yang berlinang-linang. Dalam perkembangannya sekarang ini, fungsi komunikasi nonverbal dipandang sebagai pesan-pesan yang holistik, lebih dari pada sebagai sebuah fungsi pemrosesan informasi yang sederhana. Fungsi-fungsi holistik mencakup identifikasi, pembentukan dan manajemen kesan, muslihat, emosi dan struktur percakapan. Karenanya, komunikasi nonverbal terutama berfungsi mengendalikan (controlling), dalam arti kita berusaha supaya orang lain dapat melakukan apa yang kita perintahkan. Hickson dan Stacks menegaskan bahwa fungsi-fungsi holistik tersebut dapat diturunkan dalam 8 fungsi, yaitu pengendalian terhadap percakapan, kontrol terhadap perilaku orang lain, ketertarikan atau kesenangan, penolakan atau ketidaksenangan, peragaan informasi kognitif, peragaan informasi afektif, penipuan diri (self- Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 11 deception) dan muslihat terhadap orang lain. Komunikasi nonverbal digunakan untuk memastikan bahwa makna yang sebenarnya dari pesan-pesan verbal dapat dimengerti atau bahkan tidak dapat dipahami. Keduanya, komunikasi verbal dan nonverbal, kurang dapat beroperasi secara terpisah, satu sama lain saling membutuhkan guna mencapai komunikasi yang efektif. KEGIATAN BELAJAR 2 Komunikasi Nonverbal alam Kegiatan Belajar 2 berikut ini, kits akan mempelajari komunikasi nonverbal dengan lebih mendalam. Pembahasan akan mencakup bagaimana kita memahami komunikasi nonverbal dan deskripsi ringkas mengenai sejarah komunikasi nonverbal. Bagaimana kita memahami komunikasi nonverbal, setidaknya dapat kita lihat dari dua nisi. Pertama, karakteristik komunikasi nonverbal yang meliputi eksistensinya, perannya dalam mentransmisikan perasaan, sifat menduanya, dan keterikatannya dengan suatu budaya tertentu. Selain itu, upaya untuk memahami komunikasi nonverbal dapat pula dilihat dari kategorinya yang mencakup postur, isyarat (gestural), penggunaan wajah dan mata, suara, sentuhan, cara berpakaian, dan sebagainya. Pada bagian lain, kita akan mempelajani juga-sejarah singkat komunikasi nonverbal dari masa Yunani dan Romawi sampai pendekatan yang sekarang digunakan. Karenanya, mempelajari dengan sungguh-sungguh materi yang ada dalam Kegiatan Belajar 2 ini merupakan langkah awal untuk dapat memahami komunikasi manusia secara verbal dan nonverbal. A. MEMAHAMI KOMUNIKASI NONVERBAL 1. Karakteristik Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal sebagaimana yang telah diuraikan dalam Kegiatan Belajar 1, terdiri dari pesan-pesan yang dinyatakan melalui alat-alat nonlinguistik. Namun demikian, kurang tepat apabila kita mempunyai pikiran D Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 12 bahwa semua ekspresi yang tanpa kata-kata (wordless) merupakan komunikasi nonverbal atau semua pernyataan yang terungkapkan secara lisan merupakan komunikasi verbal (pelajari kembali tabel mengenai tipe-tipe komunikasi yang ada pada Kegiatan Belajar 1). Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki empat karakteristik yaitu keberadaannya, kemampuannya menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu. Eksistensi atau keberadaan komunikasi nonverbal akan dapat diamati ketika kita melakukan tindak komunikasi secara verbal, maupun pada saat bahasa verbal tidak digunakan. Atau dengan kata lain, komunikasi nonverbal akan selalu muncul dalam setiap tindakan komunikasi, disadari maupun tidak disadari. Keberadaan komunikasi nonverbal ini pada gilirannya akan membawa kepada cirinya yang lain, yaitu bahwa kita dapat berkomunikasi secara nonverbal, karena setiap orang mampu mengirim pesan secara nonverbal kepada orang lain, tanpa menggunakan tanda-tanda verbal. Karakteristik lain dari komunikasi nonverbal adalah sifat ambiguitasnya, dalam arti ada banyak kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku. Sifat ambigu atau mendua ini sangat penting bagi penerima (receiver) untuk menguji setiap interpretasi sebelum sampai pada kesimpulan tentang makna dari suatu pesan nonverbal. Dan karakteristik terakhir adalah bahwa komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya tertentu. Maksudnya, perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam satu budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan kultur yang lain. 2. Kategori Komunikasi Nonverbal Kategori komunikasi nonverbal yang dimaksudkan dalam bahasan ini adalah beragam cara yang digunakan orang-orang untuk berkomunikasi secara nonverbal, yaitu vocalics atau paralanguage, kinesics yang mencakup gerakan tubuh, lengan, dan kaki, serta ekspresi wajah (facial expression), perilaku mata (eye behavior), lingkungan yang mencakup objek benda dan artifak, proxemics: yang merupakan ruang dan teritori pribadi, haptics (sentuhan), penampilan fisik (tubuh dan cara berpakaian), chronemics (waktu), dan olfaction (bau). Dalam tindak komunikasi sehari-hari, kita lebih banyak mempunyai output dan input vokal dibanding dengan kata-kata yang kita ungkapkan secara lisan. Output dan input vokal inilah yang kita sebut sebagai vocalics atau paralanguage. Contoh nyata dari kategori komunikasi nonverbal ini adalah desah (sighing), menjerit (screaming), merintih (groaning), menelan Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 13 (swallowing) menguap (yawning), di samping bentuk-bentuk seperti jeda, intonasi, dan penekanan dalam pembicaraan lisan. Kategori lain dari komunikasi nonverbal adalah kinesics. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi wajah kita akan selalu berubah tanpa melihat apakah kita sedang berbicara atau mendengarkan. Paul Ekman dan Wallace Friesen telah mengidentifikasikan enam emosi dasar bahwa ekspresi wajah mencerminkan keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, dan kebencian atau kejijikan. Bentuk lain dari kinesics adalah gerakan tangan, kaki dan kepala. Orang- orang yang terlibat dalam tindak komunikasi sering menggerakkan kepala dan tangannya selama interaksi berlangsung. Beberapa dari gerakan kepala dan tangan tersebut dilakukan secara sadar dan beberapa lainnya dilaksanakan secara tidak sengaja, namun semuanya memiliki makna. Gerakan tangan cenderung digunakan paling banyak oleh orang yang sedang berbicara, sedangkan pendengar cenderung, memakai gerakan kepala. Gerakan kepala yang paling umum digunakan oleh orang-orang yang sedang mendengar adalah anggukan dan gelengan kepala. Gerakan kepala yang lain adalah dengan mengernyitkan atau mengerutkan dahi. Gerakan ini bermakna bahwa orang yang sedang mendengarkan memberikan umpan balik (feedback) kepada pembicara. Gerakan tangan menyajikan banyak fungsi pesan bagi pembicara selama interaksi berlangsung, yaitu menegaskan atau menjelaskan apa yang dikatakan, memberi penekanan pada pembicaraan dan mengilustrasikan apa yang sedang dikatakan. Selain itu, ada jugs gerakan tangan yang tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap apa yang sedang dikatakan. Tujuan dari gerakan tangan ini adalah untuk menunjukkan intensitas pesan, misalnya berjabat tangan dengan cepat untuk mengekspresikan kegembiraan. Aspek komunikatif yang utama dari perilaku mata adalah siapa dan apa yang sedang kita lihat dan untuk berapa lama. Mata kita merupakan saluran komunikasi nonverbal yang penting, tidak hanya selama interaksi tetapi jugs sebelum dan sesudah interaksi berakhir. Dengan memelihara kontak mata dan tersenyum, orang-orang yang terlibat mengindikasikan bahwa mereka tertarik dengan persoalan yang sedang diperbincangkan. Kategori selanjutnya dari komunikasi nonverbal adalah proxemics, yaitu suatu cara bagaimana orang-orang yang terlibat dalam suatu tindak komunikasi berusaha untuk merasakan dan menggunakan ruang (space). Antropolog Edward T. Hall mendefinisikan empat jarak yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, Ia menjelaskan bahwa kita memilih satu jarak khusus bergantung pada bagaimana kita merasakan terhadap orang lain pada suatu situasi tertentu, konteks percakapan dan tujuan-tujuan pribadi kita. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 14 Keempat jarak tersebut adalah intimate distance, personal distance, social distance dan public distance. Namun empat jarak yang dikemukakan oleh Hal ini hanya menggambarkan perilaku orang-orang dari Amerika Utara dan sangat mungkin berbeda dengan orang-orang yang berasal dari budaya lain. Adapun klasifikasi Hall tersebut adalah sebagai berikut. a. Intimate Distance Percakapan dalam jarak yang akrab ini berlangsung dengan bisikan atau suara yang sangat pelan. Dalam jarak ini, orang-orang yang berkomunikasi secara emosional sangat dekat dan dalam situasi yang sangat pribadi. Orang-orang yang terlibat dalam interaksi dengan jarak yang akrab ini merupakan suatu tanda bahwa di antara mereka tumbuh rasa saling percaya. Namun demikian, interaksi dalam jarak yang akrab ini juga terjadi dalam lingkungan yang kurang akrab, seperti ketika kita berobat ke dokter. b. Personal distance Dalam jarak personal ini, kontak komunikasi yang berlangsung masih tertutup, namun percakapan-percakapannya tidak lagi bersifat pribadi dibanding dengan interaksi dalam jarak akrab. c. Social distance Interaksi yang berlangsung dalam jarak sosial ini biasanya terjadi dalam situasi bisnis, misalnya interaksi antara salesman/girl dengan para calon pembeli/pelanggan. Dalam kontak komunikasi ini, suara yang lebih keras sangat dibutuhkan, d. Public distance Contoh nyata dari komunikasi yang menggunakanjarak publik ini adalah perkuliahan dalam kelas dan pidato yang disampaikan pada suatu ruang tertentu. Dalam jarak publik ini, komunikasi yang bersifat dua arah (twoway traffic) sulit untuk dilaksanakan, sebab ada jarak yang cukup jauh antara pembicara dengan para pendengarnya. Faktor lingkungan sebagai salah satu karakteristik penandaan nonverbal dapat berupa lingkungan atau benda-benda yang digunakan atau dimiliki seseorang yang dapat merefleksikan makna tertentu yang berkaitan dengan orang tersebut. Misalnya, ketika kita memasuki ruang atau rumah seseorang, dengan segera kita dapat memperoleh kesan mengenai kepribadian penghuninya. Demikian pula dengan kesan yang kita berikan pada seseorang dengan melihat mobil yang dikendarainya, perabot rumahnya, asesorisnya, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena orang cenderung memilih benda atau lingkungan yang dapat merefleksikan citra diri dan kepribadiannya. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 15 Penampilan fisik acapkali mengekspresikan penandaan nonverbal tertentu. Hal ini dapat kita rasakan ketika memberikan stereotipe tertentu yang berkaitan dengan keadaan fisik seseorang. Misalnya orang yang gemuk dianggap sebagai periang dan orang yang kurus sebagai orang yang serius. Demikian pula dengan panjang atau potongan rambut tertentu. Beberapa karakter fisik lainnya yang dianggap berperan dalam penandaan nonverbal mencakup berat badan, tinggi badan, wama kulit, kontur wajah, dan berbagai jenis bekas luka atau cacat fisik. Sementara itu atribut lain yang berhubungan erat dengan penampilan fisik, dan sangat jelas berperan sebagai penanda makna tertentu adalah cars berpakaian. Biasanya ketika orang memilih dan memutuskan untuk memakai pakaian tertentu, maka dia secara sadar telah menggunakan tanda nonverbal untuk mengekspresikan makna melalui kesan tertentu dalam penampilannya. Seperti dikemukakan oleh Ronald B. Adler dan George Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, bahwa salah satu kategori komunikasi nonverbal yang penting adalah clothing atau cara berpakaian. Pakaian yang dikenakan merupakan satu alat komunikasi. Orang-orang dengan sengaja mengirimkan pesan tentang diri mereka melalui apa yang mereka kenakan dan kits berusaha menginterpretasikannya berdasarkan pada pakaian yang dikenakan. Dengan demikian, pakaian tidak hanya melindungi kita dari panas dan dingin, namun melalui pakaian dapat menjadi indikator dari status sosial ekonomi seseorang, penanda dari peran-peran tertentu (ABRI, Pegawai Negeri Sipil) dan sebagainya. Haptics atau sentuhan atau kontak tubuh dikatakan oleh Emmert dan Donaghy sebagai cara terbaik untuk mengkomunikasikan sikap pribadi, baik yang positif maupun yang negatif. Frekuensi dan durasi sentuhan dapat menjadi indikator tentang persahabatan dan rasa suka di antara orang yang melakukannya. Sentuhan dapat pula menjadi indikator yang paling ekstrim dari rasa tidak suka atau kemarahan, seperti menampar, menyepak, memukul, dan sebagainya. Cara-cara atau bentuk sentuhan dapat pula menunjukkan posisi orang dalam hubungan dengan orang lainnya, khususnya dalam pengertian dominan dan submisif (seperti mengelus kepala, mencium tangan, dan sebagainya). Waktu atau chronemics juga dapat menjadi penanda nonverbal yang digunakan ketika seseorang berkomunikasi. Bentuk nyata yang dapat kita rasakan adalah mengenai orang yang tepat/tidak tepat waktu, orang yang mengulur-ulur waktu untuk menyampaikan pesan bahwa dia tidak menyukai apa yang sedang dilakukannya, dan sebagainya. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 16 3. Deskripsi Historis Komunikasi Nonverbal Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditemukan pada zaman Aristoteles sekitar 400 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Namun studi ilmiahnya yang berkaitan dengan retorika, barn dilakukan pada zaman Yunani dan Romawi Kuno. Karya Cicero, Pronuntiatio atau cara berpidato, mungkin yang pertama kali memperlakukan komunikasi nonverbal secara sistematis. Bagaimanapun juga, karyanya telah dibatasi untuk menggunakan suara dan gerakan-gerakan ragawi dalam konteks public speaking. Dari hasil karya Cicero ini, kemudian orang lain mengkaji pengaruh bahasa nonverbal terhadap komunikasi dalam hampir keseluruhan situasi public speaking. Dalam tahun 1775, Joshua Steele memusatkan kajiannya mengenai komunikasi nonverbal pada suara sebagai satu instrumen atau pada suatu konsep yang disebut Prosody. Konsep dari Steele ini menjelaskan bahwa bahasa dalam drama atau puisi dapat "dibaca" hampir seperti notasi musik. Kemudian pada tahun 1806, Gilbert Austin mengkonsentrasikan kajiannya pada gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa. Pendekatan ini menghasilkan sebuah sistem yang disebut dengan elocutionary system di mana isyarat-isyarat yang" pantas" dipelajari dan digunakan dalam pertunjukan drama. Elocutionary system adalah seni deklamasi atau keahlian membaca/mengucapkan kalimat dengan logat dan lagu yang baik di muka umum. Kajian yang lebih kompleks tentang komunikasi nonverbal dikembangkan oleh Francois Delsarte. Delsarte menggabungkan suara dan gerakan-gerakan badan sekaligus. Dalam kajiannya tersebut, Delsarte berusaha meyakinkan bahwa pesan-pesan atau komunikasi secara nonverbal merupakan "agents of the heart". Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 17 KEGIATAN BELAJAR 3 Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Nonverbal ermulaan dari studi komunikasi nonverbal modern seringkali diidentifikasikan dengan karya Darwin: The Expression of Emotions in Man and Animals. Perhatian Darwin terhadap komunikasi nonverbal terutama berkaitan dengan fungsinya sebagai sebuah teori untuk menjelaskan mengenai penampilan (theory of performance), sebuah cara berpidato yang mengindikasikan suasana hati, sikap atau perasaan. Dari karya Darwin ini, perhatian terhadap komunikasi nonverbal telah memunculkan kajian antardisiplin. Dari hasil karyanya pula, telah dikembangkan tiga perspektif teoritis, yaitu the ethological approach (studi mengenai kesamaan-kesamaan antara perilaku manusia dengan perilaku binatang), the anthropological approach dan the functional approach. Dari ketiga pendekatan ini muncul sejumlah teori-teori yang menjelaskan tentang fenomena nonverbal yang dapat diterapkan dalam konteks komunikasi. 1. Ethological Approach (Pendekatan Etologi) Menurut Darwin, emosi manusia seperti halnya emosi dari binatang dapat dilihat dari wajahnya. Darwin mengasumsikan bahwa komunikasi nonverbal dari makhluk hidup (species) yang berbeda sebenarnya adalah sama. Orang-orang yang mendukung pandangan Darwin seperti Morris, Ekman dan Friesen percaya bahwa ekspresi nonverbal pada budaya mana pun esensinya sama, karena komunikasi nonverbal tidak dipelajari, is adalah bagian alami dari keberadaan manusia. Dua contoh etologis yang sering disebut-sebut adalah senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan pada kultur mana pun juga. a. Teori struktur kumulatif Dalam teorinya ini, Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada makna yang diasosiasikan dengan kinesic. Teori mereka disebut cumulative structure atau meaning centered karena lebih banyak membahas mengenai makna yang berkaitan dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku. Mereka beranggapan bahwa seluruh komunikasi nonverbal merefleksikan dua hal: apakah suatu tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan P Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 18 verbal. Hal ini dapat dicontohkan pada kasus ketika seseorang menceritakan sesuatu sambil gerak tangannya yang menunjukkan tinggi dan ekspresi wajah yang gembira. Gerak tangan yang menunjukkan tinggi ini tidak akan memiliki arti tanpa disertai ungkapan verbal, jadi tindakan ini disengaja dan memiliki makna tertentu. Lain halnya dengan ekspresi wajah yang gembira, yang dapat berdiri sendiri dan dapat diartikan tanpa bantuan pesan verbal. Meskipun demikian, kedua tindakan tersebut telah menambahkan kepada makna yang berkaitan dengan interaksi antara kedua orang tersebut, dan ini oleh Ekman dan Friesen disebut sebagai `expressive behavior'. Selanjutnya, Ekman dan Friesen mengidentifikasi lima kategori dari expressive behavior yaitu emblem, ilustrator, regulator, adaptor, dan penggambaran perasaan, di mana masing-masing memberikan kedalaman pada makna yang berkaitan dengan situasi komunikasi. Emblem adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai sama dengan pesan verbal, yang disengaja, dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya adalah setuju, pujian, atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan anggukan kepala, acungan jempol, atau lambaian tangan. Ilustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang serius ketika memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan adalah persoalan serius, atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dibicarakan. Sementara itu, regulator adalah tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan dalam percakapan, misalnya mengenai giliran berbicara. Bentuk-bentuk lain dari regulator dalam percakapan antara lain adalah senyuman, anggukan kepala, tangan yang menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang kesemuanya berperan dalam mengatur anus informasi pada suatu situasi percakapan. Kategori keempat adalah adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk menyesuaikan tubuh dan menciptakan kenyamanan bagi tubuh atau emosi. Terdapat dua subkategori dari adaptor, yaitu: `self' (seperti menggaruk kepala, menyentuh dagu atau hidung) dan `object' (menggigit pinsil, memainkan kunci).. Perilaku ini biasanya dipandang sebagai refleksi kecemasan atau perilaku negatif. Kategori kelima adalah penggambaran emosi atau `affect display' yang dapat disengaja maupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri. Menurut Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk affect display yang pengungkapannya cukup universal, yaitu: marah, menghina, malu, takut, Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 19 gembira, sedih, dan terkejut. Mereka mengemukakan pula bahwa beberapa affect display yang berbeda dapat diungkapkan secara bersamaan, dan bentuk seperti ini disebut "affect bland". b. Teori tindakan (Action theory) Morris juga mengemukakan suatu pandangan mengenai kinesic yang lebih didasarkan pada tindakan. Dia mengasumsikan bahwa perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi ke dalam suatu rangkaian panjang peristiwa yang terpisah-pisah. Menurutnya, terdapat lima kategori yang berbeda dalam tindakan yaitu: pembawaan (inborn), ditemukan (discovered), diserap (absorb), dilatih (trained), dan campuran (mixed). Inborn merupakan insting yang dimiliki sejak lahir, seperti perilaku menyusu. Discovered diperoleh secara sadar dan terbatas pada struktur genetik tubuh, seperti menyilangkan kaki. Absorbed. Diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan orang lain (biasanya teman) seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang. Trained diperoleh dengan belajar, seperti berjalan, mengetik dan sebagainya. Sedangkan mixed actions diperoleh melalui berbagai macam cara yang mencakup keempat hal di atas. 2. Anthropological Approach (Pendekatan Anthropologis) Pendekatan antropologis menganggap komunikasi nonverbal terpengaruh oleh kultur atau masyarakat, dan pendekatan ini diwakili oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall. a. Analogi Linguistik Dalam teorinya ini Birdwhistell mengasumsikan bahwa komunikasi nonverbal memiliki struktur yang sama dengan komunikasi verbal. Bahasa distrukturkan atas bunyi dan kombinasi bunyi yang membentuk apa yang kita sebut kata. Kombinasi kata dalam suatu konteks akan membentuk kalimat, dan berikutnya kombinasi kalimat akan membentuk paragraf. Birdwhistell mengemukakan bahwa hal yang sama terjadi dalam konteks nonverbal, yaitu terdapat `bunyi nonverbal' yang disebut allokines (satuan gerakan tubuh terkecil yang sering kali tidak dapat dideteksi). Kombinasi allokines akan membentuk trines dalam suatu bentuk yang serupa dengan bahasa verbal, yang dalam teori ini disebut sebagai analogi linguistik. Teori ini mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut. 1) Terdapat tingkat Baling ketergantungan yang tinggi antara kelima indera manusia, yang bersama-sama dengan ungkapan verbal akan membentuk `infracommunicational system'. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 20 2) Komunikasi kinesic berbeda antarkultur dan bahkan antara mikrokultur. 3) Tidak ada simbol bahasa tubuh yang universal. 4) Prinsip-prinsip pengulangan (redundancy) tidak terdapat pada perilaku kinesic. 5) Perilaku kinesic lebih primitif dan kurang terkendali dibanding komunikasi verbal. 6) Kita harus membandingkan tanda-tanda nonverbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan interpretasi yang akurat. Keenam prinsip yang mendasari analogi linguistik ini pada dasarnya menyatakan bahwa kelima indera kita berinteraksi atau bekerja bersama- sama untuk menciptakan persepsi, dan dalam setiap situasi, satu atau lebih indera kita akan mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell, perilaku kinesic bersifat unik bagi tiap kultur atau subkultur, sehingga perbedaan individu dalam komunikasi nonverbal merupakan fungsi kultur atau subkultur di mana individu tersebut berada. Oleh karenanya, kultur harus diperhitungkan dalam studi tentang komunikasi nonverbal. Prinsip ketiga menegaskan kembali bahwa perilaku nonverbal lebih banyak diperoleh sebagai hasil belajar daripada faktor genetik yang diturunkan antar generasi. Dia juga menganggap bahwa komunikasi nonverbal lebih bersifat melengkapi komunikasi verbal dari pada mengulang atau menggantikannya, yaitu keduanya bekerja bersama- sama dalam menghasilkan makna. Dan akhirnya, karena komunikasi nonverbal tidak selalu dilakukan secara sadar dan lebih bersifat primitif, kita cenderung untuk melupakan apa yang kita 'katakan' secara nonverbal. Selanjutnya Birdwhistell menjelaskan bahwa fenomena parakinesic (yaitu kombinasi gerakan yang dihubungkan dengan komunikasi verbal) dapat dipelajari melalui struktur gerakan. Struktur ini mencakup tiga faktor yaitu: intensitas dari tegangan yang tampak dari otot, durasi dari gerakan yang tampak, dan luasnya gerakan. Dari faktor-faktor ini kita dapat mengenal isi berbagai klasifikasi gerakan/perilaku yang meliputi allokine, kine, kineme (pengelompokan kine yang artinya menyerupai suatu `kata' dalam bahasa), dan kinemorpheme (yang menyerupai kalimat dalam konteks bahasa). Jadi kita dapat menganalisis komunikasi nonverbal seperti jika kita melakukannya pada komunikasi verbal, namun kita mengganti unit analisisnya dari `bunyi dan kata' menjadi `gerak dan gerakan'. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 21 b. Analogi kultural Analogi kultural yang dikemukakan oleh Edward T. Hall membahas komunikasi nonverbal dari aspek proxemics dan chronemics. Teori Hall mengenai proxemico (sebagian telah dibahas pada Kegiatan Belajar 2)mengacu kepada penggunaan "ruang" sebagai ekspresi spesifik dari kultur. Teori Hall mencakup batasan-batasan mengenai ruang yang disebutnya sebagai lingkungan (artifactual), teritorial, dan personal. Lebih lanjut dia mengemukakan adanya tiga jenis ruang, masing-masing dengan norma dan ekspektasi yang berbeda, yaitu: informal space, ruang terdekat yang mengitari kita (personal space); fixed feature space' yaitu benda di lingkungan kita yang relatif sulit bergerak atau dipindahkan seperti rumah, tembok, dan sebagainya; dan `semifixed feature space', yaitu barang-barang yang dapat dipindahkan yang berada dalam fixed-feature space. Salah satu aspek terpenting dari teori Hall adalah kajiannya mengenai preferensi dalam personal space. Menurutnya, preferensi ruang seseorang ditentukan oleh delapan faktor yang saling terkait yang ditemukan dalam tiap kultur. Pertama adalah, jenis kelamin dan posisi dari orang yang sating berinteraksi, yaitu lelaki atau perempuan, dan apakah mereka duduk, berdiri, dan sebagainya. Kedua, sudut pandangan atau "angle" yang terbentuk oleh bahu dan dada/punggung dari orang yang berkomunikasi (faktor sociofugal-sociopetal axis). Ketiga, posisi badan ketika berkomunikasi yang berada dalam jarak sentuhan (faktor kinesthetic). Keempat, sentuhan dan jenis sentuhan (faktor zero- proxemic). Kelima, frekuensi dan cara-cara kontak mata (faktor visual code). Keenam, persepsi tentang panas tubuh yang dapat dirasakan ketika berinteraksi (faktor thermal code). Ketujuh, odor atau bau yang tercium ketika berinteraksi (faktor olfactory code). Delapan, kerasnya atau volume suara dalam interaksi (faktor voice loudness). Dalam analisisnya mengenai chronemics atau waktu sebagai salah satu tanda nonverbal, Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu ditemukan dalam berbagai kultur dalam bentuknya yang berbeda-beda. Waktu memiliki apa yang disebut dengan `formal time, 'informal time , dan 'technical time' Formal time mencakup susunan dan siklus, memiliki nilai, memiliki durasi dan kedalaman. Informal time biasanya didefinisikan secara lebih longgar dalam kultur, dan bekerja pada tataran psikologis atau sosiologis, serta diungkapkan melalui individu atau kelompok. Penggunaannya dapat berupa ungkapan `sebentar lagi', `nanti', atau `sekarang'. Sedangkan technical time menggambarkan penggunaan waktu secara lebih spesifik, seperti `kilometer perjam', `tahun matahari' atau `meter per detik'. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 22 3. Functional Approach (Pendekatan Fungsional) Pendekatan fungsional memandang komunikasi nonverbal sebagai bertujuan dan dibatasi oleh suatu kerangka waktu tertentu. Ini berbeda dari pendekatan ethologis di mana komunikasi nonverbal dipandang sebagai suatu proses evolusi yang berkesinambungan dari spesies yang lebih rendah sampai kepada manusia. Ini juga berbeda dari pendekatan antropologis di mana fungsi tertentu dapat terjadi dalam setiap kultur. Dalam teori fungsional, norma-norma kultural dianggap sebagai sesuatu yang telah ada (given) dan diperhitungkan dalam kerangka waktu sebagai `variasi kultural'. Persoalan yang muncul dengan pendekatan fungsional adalah bahwa teori-teorinya mengemukakan sejumlah fungsi yang berbeda, beberapa di antaranya menunjukkan kesamaan sementara sejumlah lainnya berbeda. a. Teori metaforis dari Mehrabian Teori Mehrabian menempatkan perilaku nonverbal ke dalam pengelompokan fungsi. Dia memandang komunikasi nonverbal berada di antara tiga kontinum, yaitu: dominan-submisif, menyenangkan tidak menyenangkan, dan mengairahkan tidak menggairahkan. Perilaku nonverbal dapat ditempatkan pada setiap kontinum dan dianalisis melalui tiga metafora yang berkaitan dengan kekuasaan dan status, kesukaan, dan tingkat responsif. Metafora kekuasaan-status men- cerminkan tingkatan di mana perilaku nonverbal mengkomunikasikan dominasi atau submisi. Metafora kesukaan didasarkan pada kontinum menyenangkan-tidak menyenangkan, sedangkan metafora responsif didasarkan pada kontinum menggairahkan-tidak menggairahkan. Hampir setiap pesan nonverbal dapat dianalisis oleh setiap fungsinya dan diinterpretasikan dari satu atau kombinasi fungsi-fungsi tersebut. Misalnya senyuman dapat mengindikasikan adanya kesenangan, kegairahan dan kesukaan. Teori Mehrabian dapat diterapkan pada semua komunikasi nonverbal, meskipun paling sesuai untuk diterapkan pada penandaan kinesic, para language, sentuhan danjarak/ruang. b. Teori Equilibrium Michael Argyle dan Janet Dean mengemukakan suatu teori komunikasi nonverbal yang didasarkan pada suatu metafora keintiman-ekuilibrium. Mereka mengemukakan bahwa seluruh interaksi dibatasi dalam konflik antara kekuatan-kekuatan penarik dan penolak. Kekuatan yang menarik dan mendorong antara satu orang dengan orang lainnya cenderung untuk menyeimbangkan suatu hubungan. Kekuatan tersebut dijumpai dalam perilaku nonverbal yang berkaitan dengan pendekatan Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 23 (jarak yang lebih dekat, kontak mata yang lebih banyak, sentuhan dan gerakan tubuh yang lebih sering) dan penghindaran (jarak yang lebih jauh, kurangnya kontak mata, dan jarangnya sentuhan dan gerakan tubuh). Lebih lanjut Argyle dan Dean mengemukakan bahwa ketika kita berinteraksi, kits mengalami atau menggunakan seluruh saluran komunikasi yang ada, dan suatu perubahan dalam satu saluran nonverbal akan menghasilkan perubahan pada saluran lainnya sebagai kompensasi. c. Teorifungsional dari Patterson Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal memiliki lima fungsi, yaitu: memberikan informasi, mengekspresikan keintiman, mengatur interaksi, melaksanakan kontrol sosial, dan membantu pencapaian tujuan. Memberikan informasi antara lain membiarkan seseorang mengerti tentang perasaan kita. Mengekspresikan keintiman dapat dilakukan melalui sentuhan. Pengaturan interaksi antara lain mengatur giliran berbicara dalam percakapan. Melaksanakan kontrol sosial digunakan ketika kits mengekspresikan pandangan. Membantu pencapaian tujuan biasanya bersifat impersonal, misalnya sentuhan yang terjadi ketika seorang penata rambut sedang menata rambut kita. d. Teori Fungsional Komunikatif Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan kepada `kegunaan, motif, atau hasil dari komunikasi'. Teori ini menjelaskan peran yang dimiliki oleh komunikasi nonverbal terhadap hasil komunikasi, seperti persuasi dan desepsi (pengelabuan). Dengan demikian teori ini telah mengalihkan perhatian dari suatu pemahaman mengenai bagaimana cara kerja komunikasi nonverbal, kepada apa yang dilakukan komunikasi nonverbal. Burgoon mengemukakan terdapat sedikitnya sembilan fungsi, dari komunikasi emosional sampai pemrosesan informasi dan pemahaman. Teori ini memandang suatu inisiatif untuk berinteraksi sebagai bersifat multi fungsional dan sebagai suatu bagian penting dari proses komunikasi. Jadi fokusnya bukan sekedar pada apa yang ditampilkan oleh perilaku nonverbal, tetapi juga pada hubungan antara perilaku tersebut dengan tujuan-tujuan yang ada di baliknya. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 24 KEGIATAN BELAJAR 4 Teori-teori Komunikasi Verbal ertanyaan mengenai bagaimana kita memperoleh dan menggunakan bahasa (komunikasi verbal) untuk berkomunikasi telah menjadi bahasan teoritis selama berabad-abad. Kemampuan kita untuk melakukan simbolisasi dan berbicara telah memisahkan kita dari spesies lain yang lebih rendah. Pembahasan pada Kegiatan Belajar 4 ini berusaha untuk memahami bagaimana dan dengan efek apa bahasa digunakan. Meskipun demikian, sama seperti komunikasi nonverbal, terdapat berbagai perspektif mengenai bahasa dan pengaruhnya. Kita akan mulai dengan suatu pandangan bahwa bahasa secara genetis telah dimiliki oleh manusia (nature approach). Dengan demikian, kita hanya perlu mempelajari kombinasi tertentu dari penggunaan kata, yang merefleksikan cara-cara kita menyampaikan dan menerima pesan. Pada bagian berikutnya kita akan masuk pada suatu pendekatan yang mempelajari dampak dari penggunaan bahasa dalam menciptakan realitas, yaitu bagaimana kita `memberi label' atau 'atribut' pada dunia kita dan bagaimana 'label' tersebut menghasilkan `realitas' (narture approach). Kita kemudian akan beralih kepada pandangan fungsional yang mencoba menjawab pertanyaan: mengapa kita bereaksi terhadap bahasa, seolah-olah kata adalah benda yang direpresentasikannya? Pada bagian akhir kita akan mendiskusikan suatu pendekatan yang berorientasi pada pesan dalam bahasa, dan membahas proses berpikir yang berkaitan dengan bahasa yang mendahului aktivitas transmisi pesan. 1. Nature Approach (Pendekatan Natural) Seorang ahli yang menaruh perhatian pada bagaimana orang memperoleh bahasa adalah Noam Chomsky yang memandang pembelajaran bahasa sebagai suatu fungsi biologis, sama seperti cara Darwin memandang komunikasi nonverbal. Teori Chomsky yang disebut `struktur dalam' (deep structure) mengasumsikan bahwa suatu tata bahasa atau struktur bawaan (innategrammar) yang ada pads diri manusia sejak dia lahir merupakan landasan bagi semua bahasa. Teori ini mencakup suatu pendekatan umum yang universal. Dengan mendasarkan pada sejumlah besar penelitiannya, Chomsky mengidentifikasi adanya tiga struktur dalam semua bahasa. Pertama, adanya hubungan antara subjek-predikat. Apa pun subjeknya, predikat akan selalu menunjukkan tindakan apa yang dilakukan oleh subjek. P Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 25 Demikian pula sebaliknya, apa pun predikatnya, subjek akan selalu menunjukkan apa atau siapa yang melakukan tindakan tersebut. Misalnya 'orang makan', `gajah makan', 'monyet makan', kesemuanya menunjukkan bahwa subjek sedang melakukan tindakan tertentu, yaitu makan. Sementara dari visi predikat `orang lari', `orang bermain', `orang makan', menunjukkan bahwa `orang' yang melakukan tindakan, apa pun bentuknya. Kedua, hubungan antara kata kerja (verb) dengan objek yang mengekspresikan hubungan logis sebab dan akibat. Hubungan ini menunjukkan kepada siapa atau untuk apa suatu tindakan dilakukan. Misalnya `orang memakai topi', `orang memakai jas', `orang memakai kaos', kesemuanya menunjukkan bahwa objek (apa pun jenisnya) dipakai oleh orang tersebut. Ketiga, modifikasi,' yang menunjukkan adanya pertautan kelas (intersection of classes). Misalnya orang memakai `topi hitam', 'orang memakai topi kuning,'orang memakai topi putih', di mana kesemuanya menunjuk adanya pertautan (intersection) antara topi dan warna tertentu. Dengan demikian, Chomsky beranggapan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa kemampuan alamiah untuk berbahasa. Kita dapat memformulasikan bentuk-bentuk kombinasi kata tertentu hingga terasa masuk akal. Namun penjelasan bahwa bahasa dapat dipilah dalam struktur tata bahasa, belum dapat menjawab bagaimana bahasa mengungkapkan makna. Seorang teoretisi lain, Dan I. Slobin, mengemukakan bahwa bayi terlahir dengan pemahaman tata bahasa yang telah terprogram, anak sebenarnya memiliki suatu mekanisme pemrosesan atau sistem untuk mengorganisasikan informasi linguistik yang diperoleh dari lingkungan anak tersebut. Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendahului perkembangan bahasa. Dengan berbagai bukti ilmiah dia menunjukkan bahwa anak dari kelompok bahasa yang berbeda, mempelajari bahasa secara berbeda tergantung pada tingkat kesulitan dari bahasa tersebut. Bahasa yang lebih kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya, karena anak harus membuat sejumlah pengecualian pada prinsip bawaan yang ada dalam setiap bahasa. Slobin sendiri mengidentifikasi adanya empat prinsip yang bekerja pada semua bahasa, yaitu: memperhatikan susunan kata, menghindari pengecualian, menghindari interupsi atau penataan kembali unit-unit bahasa, dan memperhatikan kata yang ada pada bagian terakhir kalimat. Walau ada perbedaan antara teori Chomsky dan Slobin, namun pada dasarnya keduanya mendasarkan diri pada prinsip natural, yang memandang bahwa bahasa diperoleh secara natural. Meskipun demikian keduanya belum dapat menjawab makna apa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 26 tersebut. 2. Nurture Approach (Pendekatan Nurtural) Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan teori yang menentang perspektif alamiah (nature). Dengan memusatkan kajiannya pada semantik (makna dari kata), mereka mengembangkan suatu teori kultural mengenai bahasa. Mereka mengatakan bahwa latar belakang dari sistem linguistik (atau tata bahasa) dari setiap bahasa bukan hanya suatu alat reproduksi untuk menyampaikan gagasan, tetapi lebih sebagai pembentuk gagasan, pembentuk dan pemandu bagi aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan, untuk mensintesiskan aktivitas mental dalam komunikasi. Formulasi gagasan bukan merupakan suatu proses independen dan bukan aktivitas rasional semata, tetapi suatu tata bahasa tertentu yang berbeda di antara berbagai tata bahasa lain. Jadi, bahasa adalah kultural (seperti pandangan Birdwhistel mengenai komunikasi nonverbal). Bahkan aturan-aturan bahasa sangat bervariasi dari satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari kultur yang berbeda akan berbeda pula cara-caranya dalam memandang dunia. Misalnya, beberapa bahasa memiliki begitu banyak istilah untuk menyebut 'saiju', sementara sejumlah bahasa lainnya bahkan tidak memiliki satu istilah pun, terutama bagi yang belum pernah melihatnya. Menurut Sapir dan Whorf, bahasa dari suatu kultur akan berkaitan langsung dengan bagaimana cara-cara kita berpikir dalam kultur tersebut_ Asumsi ini sejalan dengan pandangan antropologis tentang relativitas kultural, yang menyatakan bahwa, karena kultur yang berbeda memiliki bahasa yang berbeda dan pandangan hidup yang berbeda, maka mereka juga memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda pula. Kedua teori yang berlawanan ini (nature vs nurture) menunjukkan bahwa baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal, terdapat dua aliran yang berangkat dari posisi yang berlawanan dalam menjelaskan bagaimana orang memperoleh bahasa. Kontroversi ini masih terus berlangsung tanpa salah satu dapat mengklaim bahwa teorinya yang paling benar, karena buktibukti yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak belum cukup memadai. 3. Teori Fungsional tentang Bahasa (General Semantics) Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata (dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku), aliran general semantics menganggap bahwa bahasa harus dapat lebih merefleksikan dunia di mana kita hidup. Asumsi yang mendasari pemikiran general semantik adalah bahwa 'the word is not the thing'. Kata dianggap sebagai abstraksi dari realitas. Oleh karenanya general semantics memandang bahwa kata harus Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 27 sedekat mungkin dengan realitas yang direfleksikannya. Meskipun demikian mereka menyadari bahwa ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata merupakan suatu konsep yang statis dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita hares mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya. Penggunaan Simbol Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh perilaku manusia berangkat dari penggunaan simbol. Salah seorang ahlinya yang bemama Alfred Korzybski menganggap adanya ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa sehari-hari kita. Argumentasinya adalah bahwa manusia hidup dalam dua lingkungan yang berbeda, lingkungan fisik dan lingkungan simbolik. Untuk memahami hal ini kita dapat menganalogikannya dengan penggunaan peta. Misalnya kita bertanya kepada teman kita berapa jarak antara Jakarta- Surabaya, dan dia menjawab: "Menurut peta sekitar 10 cm". Informasi ini hanya memiliki arti bagi kita jika kita mengetahui skala dari peta tersebut, dan tentunya skala peta tersebut bukanlah 1:1 Karena jika skalanya serupa itu peta tersebut akan sama luasnya dengan wilayah yang digambarkannya. Hal serupa berlaku pula pada kata. Ada satu anekdot untuk mencontohkan hal ini, ketika seorang pengemudi sampai pada suatu perempatan jalan dan bertanya pada orang disebelahnya apakah ada kendaraan lain yang akan melintasi jalanan yang akan diseberanginya, dan orang yang ditanya menjawab `hanya kijang'. Baru setelah mobil yang mereka tumpangi menyeberang dan ditabrak oleh sebuah Toyota Kijang yang sedang melaju, arti semantik dari 'kijang' dipahami oleh keduanya. Kata, dan pada kenyataannya semua jenis simbol, tidak sama dengan fenomena yang digambarkannya. Menurut Ogden dan Richards simbol adalah representasi ide dan ide adalah representasi objek. Dan ketiganya merupakan fenomena yang berbeda. Persoalan menjadi menarik ketika kita berbuat seolah-olah kata adalah objek yang digambarkannya. Kita tahu bahwa orang yang takut ular akan ketakutan jika benar-benar melihat seekor ular, namun kadang-kadang ada orang yang begitu takutnya sehingga denyut nadinya meningkat ketika mendengar kata ular. Interaksi antara kata, maknanya dan perilaku manusia inilah yang menjadi perhatian Korzybski ketika dia mengemukakan teori general semantics. Untuk mempelajari teori ini lebih jauh kita akan membahas sejumlah konstruk: `silent assumptions'. reaksi dan respons, penggunaan identitas, waktu dan ruang, multi ordinalitas, orientasi intensional dan ekstensional, dan tataran-tataran abstraksi. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 28 Silent Assumptions Dan P Millar dan Frank E. Millar mengemukakan bahwa makna dari suatu kata tidak terbatas dari yang kita temukan dalam kamus. Jadi kesalahpahaman semantik terjadi karena kita terlalu sering menggunakan asumsi secara diam-diam. General semantics menjelaskan bahwa kita memiliki kecenderungan untuk berurusan dengan objek atau benda pada tataran abstrak. Misalnya kita tidak berurusan dengan fenomena pada tataran atomis, meskipun sebenarnya fenomena berubah pada tataran ini. Seperti telah dikemukakan oleh Korzybski bahwa tataran objektif bukan kata dan tidak dapat dicapai hanya dengan kata. Untuk dapat mencapai atau memahami tataran objektif, general semantics mengajarkan kita untuk diam (silent), dan kondisi diam ini memungkinkan kita untuk merespons kata sebagai manusia daripada bereaksi terhadapnya sebagaimana yang dilakukan oleh hewan. Persoalan yang muncul dari silent assumption ini adalah ketika mengantisipasi apa yang dikatakan oleh orang lain. Oleh karenanya ketika kita melakukan silent asssumption, kita harus menanyakan pada diri kita sendiri tiga pertanyaan tentang apa yang sedang dikatakan orang lain, yaitu: apa yang dimaksudkannya? (apakah yang dimaksudkannya berbeda dengan yang dikatakannya), bagaimana dia mengetahui hal yang dibicarakannya? (mengacu kepada sumber informasi), dan mengapa dia mengatakan hal ini kepada saya? (apakah kita pendengar yang sesuai dan apakah kita merupakan sasaran dari kata-kata yang kita dengar). Reaksi/Respons Konstruk ini diawali oleh asumsi bahwa manusia bereaksi seperti yang dilakukan hewan melalui apa yang disebut respons yang dikondisikan. Orang dapat dengan mudah dipaksa untuk bereaksi pada slogan, nama, hasrat, dan sebagainya, dalam bentuk yang hampir sama seperti ketika hewan dikondisikan untuk bereaksi terhadap suatu tanda tertentu. Misalnya hat ini terlihat pada reaksi pengikut Hitler pada Swastika dan lambang-lambang lainnya, demikian pula dengan reaksi terhadap simbol AIDS, di mana banyak dari kita tidak ingin diasosiasikan dengan simbol tersebut. Korzybski, sebaliknya, menekankan bahwa kita seharusnya tidak meniru binatang. Respons kita haruslah kondisional, bukan dikondisikan. Artinya respons kits harus melalui penundaan (delayed) dan modifikasi, bukan otomatis. Untuk mencapai hat ini kits harus belajar menghindar dari suatu reaksi yang baku (stereo type) terhadap kelas atau kelompok orang, dan Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 29 menyadari adanya perbedaan-perbedaan di antara individu anggota kelompok atau kelas dan menyesuaikan respons kita. Identitas Alasan utama mengapa kits cenderung untuk bereaksi daripada merespons adalah karena kita melihat kesamaan absolut atau identitas. Sedikitnya ada tiga alasan bagi kecenderungan ini, yaitu: nama adalah suatu karakteristik penting dari benda atau objek, keunikan benda atau objek berada di dalam nama, dan jika suatu benda atau objek tidak memiliki nama maka is menjadi tidak eksis atau tidak dianggap. Jadi terdapat orang-orang yang beranggapan bahwa, misalnya, semua "perceraian" memiliki makna yang sarna atau semua pengertian `demonstrasi' adalah sama, padahal dalam situasi yang nyaris sama orang atau hat-hat lainnya akan selalu berbeda. Konstruk tentang identitas berkaitan erat dengan dua konstruk lain dalam teori general semantics, yaitu: `nonallness' dan 'nonadditivity'. Nonallness berarti bahwa kita tidak dapat mengatakan segala sesuatunya secara lengkap mengenai semua hat. Oleh karenanya ketika melihat adanya kesamaan dalam beberapa hat, kita cenderung untuk mengabaikan perbedaan-perbedaannya. General semantics merekomendasikan kita untuk menggunakan 'dan sebagainya' untuk memberikan gambaran bahwa terdapat hal-hal lain yang tidak kita ketahui ketika mendeskripsikan sesuatu pada saat berbicara. Konstruk nonadditivity kita lakukan ketika kita menambahkan sesuatu dan hasilnya dapat memiliki arti yang lain. Misalnya ketika seorang guru berkata kepada guru lainnya: "Bisakah Anda menerima seorang murid lagi untuk kelas Anda?" Karena tidak ada dua hat yang sama persis, menerima seorang murid yang sekedar duduk di dalam kelas adalah berbeda dengan menerima seorang murid yang sangat partisipatif di dalam kelas. Oleh karenanya menambahkan sesuatu tidak hanya sekedar menghasilkan hat yang sama dalam jumlah yang lebih besar, seperti yang dikondisikan oleh kata atau bunyi, melainkan menghasilkan suatu perilaku komunikatif yang berbeda. Keterikatan pada Waktu dan Ruang General semantics mengemukakan bahwa segala sesuatu di dalam lingkungan fisik akan terus-menerus berubah. Kita tidak sama dengan diri kita sepuluh tahun yang lalu, bahkan juga tidak sama dengan diri kita sepuluh detik yang lalu, karena set dalam tubuh kita berkembang, mati dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada benda mati, karena molekul akan selalu berubah atau bergerak. Fenomena ini kita sebut `keterikatan waktu' (time-binding). Selain itu jugs terjadi `keterikatan ruang' (space- binding). Karena orang berada dalam. tempat atau ruang yang berbeda, Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 30 mereka akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda-beda. Contoh yang paling sederhana dari hat ini adalah sebab-sebab dari terjadinya suatu kecelakaan lalulintas. Dua aspek dalam dimensi ruang adalah jarak dan posisi relatif. Seperti halnya dengan waktu, ruang adalah suatu fenomena yang pasif dan penyebab perubahan (catalytic). Benda atau objek atau hal, harus berada di dalarn suatu ruang, harus memiliki jarak (dekat atau jauh) dari benda, objek, atau hal lainnya, dan meskipun memiliki jarak yang sama, mereka harus menempati posisi yang berbeda. Dimensi ruang mencakup tataran fisik (persepsi dan jarak), tataran psikologis (perasaan, keadaan, dan sebagainya), dan tataran kultural (norma, nilai) Multiordinalitas Multiordinalitas menjelaskan mengenai pernyataan yang bertingkat- tingkat. Misalnya kita berkata bahwa `kucing belang berlari lebih cepat daripada kucing hitam'. Lalu kita bergerak pada tataran abstraksi yang lebih tinggi dan membuat pernyataan lain mengenai pernyataan ini, seperti misalnya `itu benar' atau `itu salah' atau `kalau pernyataan itu benar berarti ada hubungan antara pigmen dengan struktur otot'. Pemyataan-pernyataan ini ada pada tataran abstrak yang lebih tinggi daripada pernyataan yang pertama, karena semuanya merupakan pernyataan mengenai pernyataan yang pertama. Jadi kata 'pernyataan' dianggap memiliki multiordinal yang dapat digunakan pada tataran, atau tingkatan abstraksi yang berbeda, dan makna dari tiap-tiap tatarannya juga berbeda. Contoh lain adalah kata 'cinta' Kita dapat mencintai suatu bangunan, seorang gadis, sebuah lukisan, sebuah teori, sebuah pertarungan sengit. Semua 'cinta' ini berada pada tataran abstraksi yang sama, tetapi cinta juga dapat bergerak ke tataran yang lain. Jadi kita dapat mencintai `kecintaan' kita terhadap seorang gadis, dan sebagainya. Ini adalah cinta pada tataran kedua, yang berbeda dari cinta pada tataran pertama karena melibatkan proses psikoneurologis yang berbeda. Orientasi Intensional dan Ekstensional Konstruk ini menjelaskan bagaimana orientasi orang ketika merespons suatu hal. Menurut Irving J. Lee, orientasi `intensional' didasarkan pada definisi verbal, asosiasi, dan sebagainya, yang mengabaikan observasi. Jadi seperti ungkapan `bicara dulu, tanpa peduli bagaimana kenyataannya'. Orientasi ekstensional didasarkan pada susunan observasi, investigasi, dan sebagainya, terlebih dahulu sebelum membicarakannya. Beberapa karakteristik dari orientasi internal adalah: orang lebih memperhatikan nama dan apa yang dikatakan mengenai suatu hal daripada Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 31 kepada kenyataan; orang merespon kata atau pernyataan sebagaimana merespon objek yang digambarkan oleh kata tersebut; orang tidak merasa yakin dengan kenyataan yang dihadapinya; dan orang menggunakan pembuktian verbal, ketimbang fakta yang nyata. General semantics lebih mendukung orientasi eksternal, yang artinya merekomendasikan seseorang untuk lebih dulu mencari faktanya. Oleh karenanya, kata-kata lain yang banyak menandai teori ini adalah seperti `observasi', `keingintahuan' `pengungkapan', `penelitian', dan 'pengujian' 4. Konstruktivisme: Perspektif Pesan dalam Bahasa Jesse G. Delia dan Ruth Anne Clark mengemukakan suatu teori yang dikenal sebagai Konstruktivisme. Teori ini menaruh perhatian pada proses berpikir yang terjadi sebelum pesan dikemukakan dalam suatu tindakan komunikasi. Mereka menyebut proses berpikir ini sebagai `kognisi sosial'. Analisis mereka telah membawa kepada usaha untuk memahami bagaimana orang menyusun dan mengubah suatu `impresi/kesan' pada orang lain, dan bagaimana kesan digunakan untuk menyusun strategi pesan serta bagaimana orang merasionalisasikan strategi tersebut. Beberapa prinsip penting dari teori mereka adalah, konstruksi episodik dan disposisi seseorang diorganisasi oleh skemata interpersonalnya. Skemataskemata interpersonal ini adalah kognisi atau pemikiran mengenai bagaimana kita berpikir (menganggap atau memperkirakan) mengenai apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Skemata-skemata interpersonal ini diorganisasi ke dalam semacam sistem (skema), dan pola-pola dalam sistem ini mencakup interpretasi dan penyimpulan, serta pola-pola 'konstruksi' yang kita gunakan untuk menjelaskan perilaku orang lain. Prinsip kedua adalah, organisasi kesan interpersonal memberikan pemahaman dan antisipasi atas orang lain secara kontekstual dan relevan. Dalam hal ini orang bertindak seolah-olah sebagai psikolog-sosial yang mencoba menggunakan suatu pola konsepsional untuk menjelaskan, memahami, dan memperkirakan perilaku orang lain di dalam berbagai konteks. Prinsip ketiga, variasi sistematis dalam konstruk dan skemata interpersonal yang berkembang sebagai suatu fungsi pengalaman sosial, memberikan perbedaan kapasitas untuk membentuk kesan-kesan yang terorganisasikan dan stabil dalam waktu dan konteks yang berbeda. Jadi, orang yang lebih banyak memiliki pilihan dalam menilai orang lain, dan lebih abstrak pemikiran konstruksi interpersonalnya, cenderung lebih mampu memformulasikan pandangan yang terorganisasi mengenai orang lain. Teori Komunikasi Verbal dan Nonverbal Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 32 Misalnya, dalam berinteraksi dengan orang yang tidak kita sukai, maka pemikiran kita mengenai orang tersebut diwarnai oleh perasaan kita mengenai orang-orang lainnya yang tidak kita sukai. Jadi, kita dapat menilai orang lain sebagai buruk/jahat hanya karena satu atau dua sebab, atau kita mungkin telah memiliki sebelumnya rasa tidak suka pada orang tersebut yang didasarkan atas variasi kognisi ita. Dalam waktu yang lama sepanjang tidak ada kognisi lain yang menandingi, kesan kita terhadap orang tersebut akan stabil, dan kita cenderung untuk memahami dan memprediksi perilakunya berdasarkan kesan tersebut. Dari penjelasannya tersebut, Delia dan Clark telah mengemukakan bahwa bahasa digunakan untuk menilai apa yang akan dirasakan oleh orang lain terhadap suatu pecan yang disampaikan kepadanya, sebelum pesan itu sendiri sepenuhnya disusun. Oleh karenanya, individu dengan kecakapan bahasa yang lebih baik akan mampu menyusun pesan secara lebih tepat dan jelas kepada berbagai jenis orang dalam berbagai situasi spesifik.

BAB 5 Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience

Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 1 arshall McLuhan mengatakan bahwa kita sebenarnya hidup dalam suatu `desa global'. Pernyataan McLuhan ini mengacu pada perkembangan media komunikasi modern yang telah memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia untuk dapat berhubungan dengan hampir setiap sudut dunia. Kehadiran media secara serempak di berbagai tempat telah menghadirkan tantangan baru bagi para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Pentingnya komunikasi massa dalam kehidupan manusia modern dewasa ini, terutama dengan kemampuannya untuk menciptakan publik, menentukan isu, memberikan kesamaan kerangka pikir, dan menyusun perhatian publik, pada gilirannya telah mengundang berbagai sumbangan teoretis terhadap kajian tentang komunikasi massa. Konsep komunikasi massa itu sendiri pada satu sisi mengandung pengertian suatu proses di mana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses di mana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audience. Pusat dari studi mengenai komunikasi massa adalah media. Media merupakan organisasi yang menyebarkan informasi yang berupa produk budaya atau pesan yang mempengaruhi dan mencerminkan budaya dalam masyarakat. Oleh karenanya, sebagaimana dengan politik atau ekonomi, media merupakan suatu sistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Analisis media mengenal adanya dua dmensi komunikasi massa. Dimensi pertama memandang dari sisi media kepada masyarakat luas beserta institusi-institusinya. Pandangan ini menggambarkan keterkaitan antara media dengan berbagai institusi lain seperti politik, ekonomi, pendidikan agama, dan sebagainya. Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan tersebut. mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat dan terjadinya saling mempengaruhi antara berbagai struktur kemasyarakatan dengan media. Pendekatan ini merupakan dimens, makro dari teori komunikasi massy Dimensi kedua melihat kepada hubungan antara media dengan audience, baik secara kelompok maupun individual. Teori-teori mengenai hubungan antara media-audience, terutama menekankan pada efek-efek individu dan kelompok sebagai basil interaksi dengan media. Pendekatan ini disebut sebagai dimensi mikro dari teori komunikasi massa. Dengan berbagai pertimbangan yang telah diuraikan di atas, modul ini akan menjelaskan sejumlah teori komunikasi massa yang dikelompokkan ke dalam empat (4) pokok bahasan: teori-teori dasar komunikasi massa, pengaruh komunikasi massa terhadap individu, pengaruh komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya, dan pendekatan audience dalam komunikasi massa. M Modul 5 Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 2 Mengingat lingkupnya yang sedemikian luas, di sini kita tidak dapat mencakup seluruh teori komunikasi massa secara lengkap. Karenanya hanya dipilih teori-teori yang menonjol dan mempengaruhi aliran pemikiran komunikasi massa dewasa ini. Setiap pokok bahasan merupakan satu topik kegiatan belajar. Diharapkan keempat pokok bahasan ini dapat memberikan pemahaman mengenai teori-teori penting dalam studi komunikasi massa. Simak dengan cermat setiap topik kegiatan belajar, serta kerjakan semua pertanyaan latihan dan tes formatif. Jika menemukan kesulitan, diskusikan dengan teman atau tutor Anda. A. FORMULA LASSWELL Seorang ahli ilmu politik Amerika Serikat pada tahun 1948 mengemukakan suatu ungkapan yang sangat terkenal dalam teori dan penelitian komunikasi massa. Ungkapan yang merupakan cara sederhana untuk memahami proses komunikasi massa adalah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut. a. Siapa (Who), b. Berkata Apa (Says What), c. Melalui Saluran Apa (In Which Channel), d. Kepada Siapa (To Whom), e. Dengan Efek Apa? (With What Effect?). Ungkapan dalam bentuk pertanyaan yang dikenal sebagai Formula Lasswell ini, meskipun sangat sederhana atau terlalu menyederhanakan suatu fenomena komunikasi massa, telah membantu mengorganisasikan dan memberikan struktur pada kajian terhadap komunikasi massa. Selain dapat menggambarkan komponen-komponen dalam proses komunikasi massa, Lasswell sendiri menggunakan formula ini untuk membedakan berbagai jenis penelitian komunikasi. Hal im dapat disimak pada visualisasi berikut: Siapa Berkata Melalui Kepada Dengan apa saluran siapa efek apa apa Komunikator Pesan Media Penerima Efek Control Analisis Analisis Analisis Analisis studies pesan media audience efek B. PENDEKATAN TRANSMISIONAL Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan transmisional pada dasarnya menjelaskan suatu proses komunikasi dengan melihat komponen-komponen yang terkandung di dalamnya dan rangkaian aktivitas yang terjadi antara satu komponen dengan komponen lainnya (terutama mengalirnya pesan/informasi). Teori tentang transmisi pesan ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 3 matematika, Claude Shannon pada akhir tahun 40-an. Shannon yang bekerja pada biro penelitian perusahaan telepon Bell menerapkan pemikirannya terutama untuk kepentingan telekomunikasi. Dia berangkat dari sejumlah pertanyaan yang menyangkut jenis saluran komunikasi apa yang dapat mengangkut muatan sinyal secara maksimum? Berapa banyak muatan sinyal yang ditransmisikan akan rusak oleh gangguan yang mungkin muncul, dalam perjalanannya menuju penerima sinyal? Pertanyaan ini pada dasarnya menyangkut bidang teori informasi. Meskipun demikian, teori yang dikembangkan Shannon bersama rekan kerjanya Warren Weaver, dalam suatu bentuk model, telah digunakan sebagai analogi oleh berbagai ilmuwan sosial. Walau prinsip teknologi pasti berbeda dari proses komunikasi manusia, namun teori Shannon Weaver telah menjadi ide dasar bagi banyak teori komunikasi (massa) di kemudian hari. Komunikasi oleh mereka digambarkan sebagai suatu proses yang linier dan searah. Yaitu proses di mana pesan diibaratkan mengalir dari sumber dengan melalui beberapa komponen menuju kepada tujuan (komunikan). Terdapat lima fungsi yang beroperasi dalam proses komunikasi di samping satu faktor disfungsional yaitu noise atau gangguan. Model yang mereka ciptakan adalah sebagai berikut. Pesan Sinyal Sinyal Pesan Pada dasarnya prinsip proses ini adalah seperti bekerjanya proses penyiaran radio. Pada bagian pertama dari proses adalah sumber informasi yang menciptakan pecan atau rangkaian pesan untuk dikomunikasikan. Pada tahap berikutnya pesan diubah ke dalam bentuk sinyal oleh transmiter sehingga dapat diteruskan melalui saluran kepada penerima. Penerima lalu menyusun kembali sinyal menjadi pesan sehingga dapat mencapai tujuan. Sementara itu sinyal dalam perjalanannya memiliki potensi untuk terganggu oleh berbagai sumber gangguan yang muncul. Misalnya, ketika terdapat terlalu banyak sinyal dalam saluran yang sama dan pada saat yang bersamaan pula. Hal ini akan mengakibatkan adanya perbedaan antara sinyal yang ditransmisikan dan sinyal yang diterima. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pesan yang dibuat oleh sumber dan kemudian disusun kembali oleh penerima hingga mencapai tujuan, tidak selalu memiliki makna yang sama. Ketidakmampuan komunikator untuk menyadari bahwa suatu pesan yang dikirimkan tidak selalu diterima dengan pengertian yang sama, adalah merupakan penyebab bagi kegagalan komunikasi. Dari model yang dikemukakan Shannon & Weaver ini, Melvin DeFleur (1966) dalam bukunya Theories of Mass Communication, mengembangkan Sumber Informasi Transmiter Penerima Tujuan Sumber Gangguan Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 4 dan mengaplikasikannya ke dalam teori komunikasi massa. Dalam kaitannya dengan makna dari pecan yang diciptakan dan diterima, dia mengemukakan bahwa dalam proses komunikasi `makna' diubah menjadi pesan yang lalu diubah lagi oleh transmiter menjadi informasi, dan kemudian disampaikan melalui suatu saluran (misalnya media massa). Informasi diterima sebagai pesan, lalu diubah menjadi makna. Jika terdapat korespondensi (kesamaan/ hubungan) antara kedua 'makna' tersebut, maka hasilnya adalah komunikasi. Namun, seperti dikemukakan sendiri oleh DeFleur, jarang sekali terjadi korespondensi yang sempurna. Artinya, dengan toleransi tertentu, komunikasi masih dapat terjadi meskipun terdapat juga sejumlah perbedaan makna. De Fleur menambahkan beberapa komponen dalam bagan Shannon Weaver untuk menggambarkan bagaimana sumber/komunikator mendapatkan umpan balik atau feedback, yang memberikan kemungkinan kepada komunikator untuk dapat lebih efektif mengadaptasikan komunikasinya. Dengan demikian, kemungkinan untuk mencapai korespondensi/kesamaan makna akan meningkat. Untuk menjelaskan teorinya, DeFleur mengungkapkannya dalam bagan berikut: Bagan Shannon-Weaver, walau berkesan linier dan tanpa umpan balik, ternyata telah meletakkan dasar bagi pengembangannya oleh DeFleur. Bagan DeFleur di atas telah memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang fenomena komunikasi massa. Meskipun demikian, dalam hal komunikasi massa, sumber/komunikator biasanya memperoleh umpan balik yang sangat terbatas dari audiencenya. C. PENDEKATAN PSIKOLOGI SOSIAL Dengan mendasarkan pada prinsip keseimbangan kognitif yang dikemukakan oleh psikolog Heider (1946), dan penerapannya oleh Newcomb (1953) pada keseimbangan antara dua individu dalam proses komunikasi ketika menanggapi suatu topik tertentu, McLeod dan Chaffee (1973) mengemukakan teorinya yang disebut Ko-orientasi. Fokus dari teori ini adalah komunikasi antarkelompok dalam masyarakat yang berlangsung secara interaktif dan dua arah. Pendekatan ini memandang sumber informasi, Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 5 komunikator, dan penerima dalam suatu situasi komunikasi yang dinamis. Hubungan antara elemen-elemen tersebut dituangkan dalam bagan yang menyerupai layang-layang, sebagai berikut. Bagan tersebut menggambarkan bahwa 'elite' biasanya diartikan sebagai kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. 'Peristiwa' atau topik/isu adalah perbincangan/ perdebatan mengenai suatu kejadian yang terjadi dalam masyarakat, di mana dari sini akan muncul berbagai informasi (seperti digambarkan dengan deretan X). 'Publik' adalah kelompok/komunitas dalam masyarakat yang berkompeten dengan peristiwa yang diinformasikan dan sekaligus sebagai audience dari media. Sementara itu 'media' mengacu pada unsur-unsur yang ada di dalam media, seperti wartawan, editor, reporter, dan sebagainya. Garis yang menghubungkan berbagai elemen tersebut memiliki sejumlah interpretasi. Dapat berupa hubungan, sikap, ataupun persepsi. Demikian pula arah dari garis tersebut dapat dianggap sebagai komunikasi searah ataupun dua arah. Teori ini menjelaskan bahwa informasi mengenai suatu peristiwa dicari dari atau didapat oleh anggota masyarakat dengan mengacu pada pengalaman pribadi, sumber dari kalangan elite, media massa, atau kombinasi ketiganya. Relevansi dari teori ini terletak pada situasi yang dinamis yang dihasilkan oleh hubungan antara publik dan kekuatan politik (elite) tertentu, pada sikap publik terhadap media, dan pada hubungan antara elite dan media. Perbedaan atau pertentangan antara publik dan elite dalam mempersepsi suatu peristiwa. akan membawa pada upaya mencari informasi dari media massa dan sumber-sumber informasi lainnya. Perbedaan ini dapat pula membawa ke arah upaya elite untuk memanipulasi persepsi publik dengan secara langsung mencampuri peristiwa tersebut atau dengan cara mengendalikan media massa. Kerangka acuan yang digunakan teori ini dapat diperluas dengan melibatkan sejumlah variabel dari elemen-elemen utama teori ini (publik, elite, media, dan peristiwa). Jadi, kita dapat membedakan peristiwa, berdasarkan relevansinya, nilai pentingnya, aktualitasnya, atau tingkat kontroversinya. Kita dapat menggolongkan publik atas segmen atau sektor, memberikan kategori atas sumber-sumber informasi dalam elite berdasarkan Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 6 posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat. Sebagai ilustrasi, penelitian mengenai penggunaan media massa dan pendapat umum yang dilakukan oleh Tichenor (1973) membuktikan bahwa prakiraan atas suatu peristiwa yang dianggap kontroversial akan membuat publik untuk lebih mencermati informasi dari media massa mengenai peristiwa tersebut. Teori lainnya yang lebih sosiologis dikemukakan oleh John W. Riley dan Mathilda White Riley (1959). Mereka berangkat dari anggapan bahwa teori- teori komunikasi massa yang ada pada saat itu menimbulkan kesan seolah- olah proses komunikasi terjadi dalam situasi sosial yang vakum (hampa) dan bahwa pengaruh lingkungan terhadap proses tersebut terasa diabaikan. Padahal, seperti mereka katakan, manusia sebagai makhluk yang berkomunikasi merupakan bagian dari berbagai struktur sosial yang berbeda. Oleh karenanya, mereka menawarkan suatu teori yang bertujuan untuk menganalisis komunikasi massa yang lebih menekankan pada aspek sosiologis dengan menganggap bahwa komunikasi massa merupakan satu di antara berbagai sistem sosial yang ada dalam masyarakat. Riley dan Riley menunjuk pada peran primary group dan reference group dalam proses komunikasi. Primary group ditandai dengan hubungan yang intim antar anggotanya, misalnya keluarga. Sedangkan reference group adalah kelompok di mana seseorang belajar untuk mengenal sikap, nilai, dan perilakunya. Dalam banyak hal primary group acap kali berfungsi pula sebagai reference group. Sebagai komunikator atau penerima pesan, individu dipengaruhi oleh primary group, Dalam kapasitasnya sebagai komunikator, individu mungkin terpengaruh dalam memilih dan membentuk pesannya, sebagai penerima is dipengaruhi dalam hal menseleksi pesan, mempersepsi pesan, dan menanggapi pesan. Pada sisi lain, primary group juga terpengaruh, sebagian oleh interaksi dengan primary group lainnya, dan sebagian oleh struktur sosial yang lebih luas yang juga secara langsung dapat mempengaruhi individu. Struktur sosial yang lebih luas ini Bering kali dikenal pula sebagai secondary group, seperti misalnya organisasi politik, perusahaan, atau serikat pekerja. Secondary group seperti halnya primary group, telah memperkenalkan norma dan menjadi panutan dalam berperilaku. Mereka menjelaskan teorinya dalam bagan berikut: Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 7 Komunikator dan penerima digambarkan sebagai elemen dari dua struktur yang lebih besar yang saling terkait, misalnya melalui mekanisme umpan balik. Dalam lingkup yang lebih luas mereka meletakkan sistem komunikasi dalam suatu keseluruhan sistem sosial, dalam masyarakat di mana orang-orang yang terlibat dalam komunikasi berinteraksi dengan berbagai kelompok di sekelilingnya dan struktur sosial yang lebih luas. Jadi, proses komunikasi massa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses sosial yang lebih luas tersebut. D. STIMULUS-RESPONS Prinsip stimulus-respons pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi terhadap stimuli tertentu. Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience. Elemen-elemen utama dari teori ini adalah: (a) pesan (stimulus); (b) seorang penerima /receiver (organisme); dan (c) efek (respons). Prinsip stimulus-respons ini merupakan dasar dari teori jarum hipodermik, teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh. Dalam teori ini isi media dipandang sebagai obat yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah audience, yang keniudian diasumsikan akan bereaksi seperti yang diharapkan. Di balik konsepsi ini sesungguhnya terdapat dua pemikiran yang mendasarinya: 1. Gambaran mengenai suatu masyarakat modern yang merupakan agregasi dari individu-individu yang relatif terisolasi (atomized) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya, yang tidak terlalu terpengaruh oleh kendala dan ikatan sosial. 2. Suatu pandangan yang dominan mengenai media massa yang seolah- olah sedang melakukan kampanye untuk memobilisasi perilaku sesuai dengan tujuan dari berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat (biro iklan, pemerintah, parpol dan sebagainya). Dari pemikiran tersebut, dikenal apa yang disebut `masyarakat massa', di mana prinsip stimulus-respons mengasumsikan bahwa pesan dipersiapkan dan didistribusikan secara sistematik dan dalam skala yang luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat tersedia bagi sejumlah besar individu, dan bukannya ditujukan pada orang per orang. Penggunaan teknologi untuk reproduksi dan distribusi diharapkan dapat memaksimalkan jumlah penerimaan dan respons oleh audience. Dalam hal ini tidak diperhitungkan kemungkinan adanya intervensi dari struktur sosial atau kelompok dan seolah-olah terdapat kontak langsung antara media dan individu. Konsekuensinya, seluruh individu yang menerima pesan dianggap sama/seimbang. Jadi, hanya agregasi jumlah yang dikenal, seperti konsumen, suporter, dan sebagainya. Selain itu diasumsikan pula bahwa terpaan pesan-pesan media, dalam tingkat tertentu, akan menghasilkan efek. Jadi kontak dengan media cenderung Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 8 diartikan dengan adanya pengaruh tertentu dari media, sedangkan individu yang tidak terjangkau oleh terpaan media tidak akan terpengaruh. Pada tahun 1970, Melvin DeFleur melakukan modifikasi terhadap teori stimulus-respons dengan teorinya yang dikenal sebagai perbedaan individu dalam komunikasi massa (individual differences). Di sini diasumsikan bahwa pesan-pesan media berisi stimulus tertentu yang berinteraksi secara berbeda- beda dengan karakteristik pribadi dari para anggota audience. Teori DeFleur ini secara eksplisit telah mengakui adanya intervensi variabel-variabel psikologis yang berinteraksi dengan terpaan media massa dalam menghasilkan efek. Berangkat dari teori perbedaan individu dan stimulus-respons ini, DeFleur mengembangkan model psikodinamik yang didasarkan pada keyakinan bahwa kunci dari persuasi yang efektif terletak pada modifikasi struktur psikologis internal dari individu. Melalui modifikasi inilah respons tertentu yang diharapkan muncul dalam perilaku individu akan tercapai. Esensi dari model ini adalah fokusnya pada variabel-variabel yang berhubungan dengan individu sebagai penerima pesan, suatu kelanjutan dari asumsi sebab-akibat, dan mendasarkan pada perubahan sikap sebagai ukuran bagi perubahan perilaku. E. KOMUNIKASI DUA TAHAP DAN PENGARUH ANTARPRIBADI Teori ini berawal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld dan kawan-kawannya mengenai efek media massa dalam suatu kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Studi lersebut dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus respons bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun basil penelitian menunjukkan sebaliknya. Efek media massa ternyata rendah, dan asumsi stimulus-respons tidak cukup menggambarkan realitas audience media massa dalam penyebaran arus informasi dan pembentukan pendapat umum. Dalam analisisnya terhadap hasil penelitian tersebut, Lazarsfeld kemudian mengajukan gagasan mengenai `komunikasi dua tahap' (two step f l ow) dan konsep `pemuka pendapat'. Temuan mereka mengenai kegagalan media massa dibandingkan dengan pengaruh kontak antarpribadi telah membawa kepada gagasan bahwa `sering kali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada para pemuka pendapat, dan dari mereka kepada orang-orang lain yang kurang aktif dalam masyarakat'. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan dengan penelitian yang lebih serius dan re-evaluasi terhadap teori stimulus-respons dalam konteks media massa. Perbandingan antara teori awal komunikasi massa dengan teori yang mereka kembangkan digambarkan dalam model berikut: Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 9 = Pemuka pendapat Q = Individu dolam masyarakat Teori dan penelitian-penelitian komunikasi dua tahap memiliki asumsiasumsi sebagai berikut. 1. Individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, tetapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. 2. Respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak akan terjadi secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut. 3. Ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan yang kedua berkaitan dengan respons dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau penyampaian informasi. 4. Individu tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media, melainkan memiliki berbagai peran yang berbeda dalam proses komunikasi, dan khususnya, dapat dibagi atas mereka yang secara aktif menerima dan meneruskan/menyebarkan gagasan dari media, dan mereka yang semata-mata hanya mengandalkan hubungan personal dengan orang lain sebagai panutannya. 5. Individu-individu yang berperan lebih aktif (pemuka pendapat) ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap orang-orang lain, dan memiliki peran sebagai sumber informasi dan panutan. Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak bekerja dalam suatu situasi kevakuman sosial, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks, dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, dan kekuasaan, yang lainnya. Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 10 F. DIFUSI INOVASI Salah satu aplikasi komunikasi massa terpenting adalah berkaitan dengan proses adopsi inovasi. Hal ini relevan untuk masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat maju, karena terdapat kebutuhan yang terus-menerus dalam perubahan sosial dan teknologi untuk mengganti cara-cara lama dengan teknik-teknik baru. Teori ini berkaitan dengan komunikasi massa karena dalam berbagai situasi di mana efektivitas potensi perubahan yang berawal dari penelitian ilmiah dan kebijakan publik, harus diterapkan oleh masyarakat yang pada dasarnya berada di luar jangkauan langsung pusat-pusat inovasi atau kebijakan publik. Dalam pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi inovasi umumnya petani dan anggota masyarakat pedesaan. Praktik-praktik awal difusi inovasi dilakukan di Amerika Serikat pada dasawarsa 20-an dan 30-an, dan sekarang banyak digunakan untuk program-program pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini pada prinsipnya adalah komunikasi dua tahap, jadi di dalamnya dikenal pula adanya pemuka pendapat atau yang disebut juga dengan istilah agen perubahan. Oleh karenanya teori ini sangat menekankan pada sumber- sumber non-media (sumber personal, misalnya tetangga, teman, ahli, dan sebagainya.), dan biasanya mengenai gagasan-gagasan baru yang dikampanyekan untuk mengubah perilaku melalui penyebaran informasi dan upaya mempengaruhi motivasi dan sikap. Everett A Rogers dan Floyd G. Shoemaker (1973) merumuskan kembali teori ini dengan memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 4 tahap dalam suatu proses difusi inovasi, yaitu: Pengetahuan : kesadaran individu akan adanya inovasi dan adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Persuasi : individu membentuk/memiliki sikap yang menyetujui atau tidak menyetujui inovasi tersebut. Keputusan : individu terlibat dalam aktivitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Konfirmasi : individu akan mencari pendapat yang menguatkan keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari keputusan yang telah diambil sebelumnya jika pesanpesan mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan lainnya. Teori Defusi Inovatif mencakup sejumlah gagasan mengenai proses difusi inovasi sebagai berikut. Pertama, teori ini membedakan tiga tahapan utama dari keseluruhan proses ke dalam tahapan anteseden, proses, dan konsekuensi. Tahapan yang pertama mengacu kepada situasi atau karakteristik dari orang yang terlibat yang memungkinkannya untuk diterpa informasi tentang suatu inovasi dan relevansi informasi tersebut terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya, adopsi inovasi biasanya lebih mudah terjadi pada mereka yang terbuka terhadap perubahan, menghargai kebutuhan akan informasi, dan selalu mencari informasi baru. Tahapan kedua berkaitan dengan proses mempelajari, perubahan sikap dan keputusan. Di sini nilai inovatif yang Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 11 dirasakan akan memainkan peran penting, demikian pula dengan norma- norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam sistem sosialnya. Jadi, kadang kala peralatan yang secara teknis dapat bermanfaat, tidak diterima oleh suatu masyarakat karena alasan-alasan moral atau kultural, atau dianggap membahayakan struktur hubungan sosial yang telah ada. Tahapan konsekuensi dari aktivitas difusi terutama mengacu pada keadaan selanjutnya jika terjadi adopsi inovasi. Keadaan tersebut dapat berupa terus menerima dan menggunakan inovasi, atau kemudian berhenti menggunakannya lagi. Kedua, perlu dipisahkannya fungsi-fungsi yang berbeda dari pengetahuan', `persuasi', `keputusan', dan `konfirmasi', yang biasanya terjadi dalam tahapan proses, meskipun tahapan tersebut tidak harus selesai sepenuhnya/lengkap. Dalam hal ini, proses komunikasi lainnya dapat juga diterapkan, misalnya beberapa karakteristik yang berhubungan dengan tingkat persuasi. Orang yang tahu lebih awal tidak harus para pemuka pendapat, beberapa penelitian menunjukkan bahwa `tahu lebih awal' atau 'tahu belakangan/tertinggal' berkaitan dengan tingkat isolasi sosial tertentu. Jadi, kurangnya integrasi sosial seseorang dapat dihubungkan dengan `kemajuannya' atau `ketertinggalannya' dalam masyarakat. Ketiga, difusi inovasi biasanya melibatkan berbagai sumber komunikasi yang berbeda (media massa, advertensi atau promosi, penyuluhan, atau kontak-kontak sosial yang informal), dan efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda pada tiap tahap, serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi, media massa dan advertensi dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan pengetahuan, penyuluhan berguna untuk mempersuasi, pengaruh antarpribadi berfungsi bagi keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, dan pengalaman dalam menggunakan inovasi dapat menjadi sumber konfirmasi untuk terus menerapkan inovasi atau sebaliknya. Keempat, teori ini melihat adanya `variabel-variabel penerima' yang berfungsi pada tahap pertama (pengetahuan), karena diperolehnya pengetahuan akan dipengaruhi oleh kepribadian atau karakteristik sosial. Meskipun demikian, setidaknya sejumlah variabel penerima akan berpengaruh pula dalam tahap-tahap berikutnya dalam proses difusi inovasi. Ini terjadi juga dengan `variabel-variabel sistem sosial' yang berperan terutama pada tahap awal (pengetahuan) dan tahap-tahap berikutnya. Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 12 G. TEORI AGENDA-SETTING Dari beberapa asumsi mengenai efek komunikasi massa, satu yang bertahan dan berkembang dewasa ini menganggap bahwa media massa dengan memberikan perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh terhadap pendapat umum. Orang akan cenderung mengetahui tentang hal-hal yang diberitakan media massa dan menerima susunan prioritas yang diberikan media massa terhadap isu-isu yang berbeda. Asumsi ini berhasil lolos dari keraguan yang ditujukan pada penelitian komunikasi massa yang menganggap media massa memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap atau pendapat. Studi empiris terhadap komunikasi massa telah mengonfirmasikan bahwa efek yang cenderung terjadi adalah dalam hal informasi. Teori Agenda-setting menawarkan suatu cara untuk menghubungkan temuan ini dengan kemungkinan terjadinya efek terhadap pendapat, karena pada dasarnya yang ditawarkan adalah suatu fungsi belajar dari media massa. Orang belajar mengenai isu-isu apa, dan bagaimana isu-isu tersebut disusun berdasarkan tingkat kepentingannya. Teoritisi utama agenda-setting adalah Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Mereka menuliskan bahwa audience tidak hanya mempelajari berita- berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan oleh para kandidat dalam suatu kampanye pemilu, media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan `agenda' kampanye tersebut. Kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa. Dalam hal kampanye, teori ini mengasumsikan bahwa jika para calon pemilih dapat diyakinkan akan pentingnya suatu isu maka mereka akan memilih kandidat atau partai yang diproyeksikan paling berkompeten dalam menangani isu tersebut. Asumsi agenda-setting ini memiliki kelebihan karena mudah dipahami dan relatif murah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media. Perkiraan ini dapat diuji dengan membandingkan hasil dari analisis isi media secara kuantitatif dengan perubahan dalam pendapat umum yang diukur melalui survei pada dua (atau lebih) waktu yang berbeda. Pada tahun 1976, McCombs dan Shaw mengambil kasus Watergate sebagai ilustrasi dari fungsi agenda-setting. Mereka menunjukkan bahwa sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam mengungkap kasus politik yang korup, tetapi pemberitaan surat kabar yang sangat intensif dan diikuti Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 13 oleh penayangan dengar pendapat di Dewan Perwakilan melalui televisi, telah membuat kasus Watergate menjadi topic of the year. H. TEORI DEPENDENSI MENGENAI EFEK KOMUNIKASI MASSA Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L. DeFleur (1976) memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat modern (atau masyarakat massa), di mana media massa dapat dianggap sebagai sistem nformasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Teori mereka secara ringkas digambarkan dalam model berikut: Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang dan orientasi kepada apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi oleh sejumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan tingkat perubahan, konflik atau tidak stabilnya masyarakat tersebut. Dan kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi. Dengan demikian teori ini menjelaskan saling hubungan antara tiga perangkat variabel utama dan menentukan jenis efek tertentu sebagai hasil interaksi antara ketiga variabel tersebut. Pembahasan lebih lanjut mengenai teori ini ditujukan pada jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teori ini. Secara ringkas kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Kognitif Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 14 a. Menciptakan atau menghilangkan ambiguitas. b. Pembentukan sikap. Agenda-setting. c. Perluasan sistem keyakinan masyarakat. d. Penegasan/penjelasan nilai-nilai. 2. Afektif a. Menciptakan ketakutan atau kecemasan. b. Meningkatkan atau menurunkan dukungan moral. 3. Behavioral: a. Mengaktifkan/menggerakkan atau meredakan. b. Pembentukan isu tertentu atau penyelesaiannya. c. Menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas. d. Menyebabkan perilaku dermawan (menyumbangkan uang) Lebih lanjut Ball-Rokeach dan DeFleur mengemukakan bahwa ketiga komponen yaitu audience, sistem media dan sistem sosial saling berhubungan satu dengan Iainnya, meskipun sifat hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Setiap komponen dapat pula memiliki cara yang beragam yang secara langsung berkaitan dengan perbedaan efek yang terjadi. Seperti misalnya: Sistem sosial akan berbeda-beda (bervariasi) sesuai dengan tingkat stabilitasnya. Ada kalanya sistem sosial yang stabil akan mengalami masa- masa krisis. Sistem sosial yang telah mapan dapat mengalami tantangan legitimasi dan ketahanannya secara mendasar. Dalam kondisi semacam ini akan muncul kecenderungan untuk mendefinisikan hal-hal bar-u, penyesuaian sikap, menegaskan kembali nilai-nilai yang berlaku atau mempromosikan nilai-nilai baru, yang kesemuanya menstimulasi proses pertukaran informasi. Audience akan memiliki hubungan yang beragam dengan sistem sosial dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sejumlah kelompok mungkin mampu bertahan sementara lainnya akan lenyap. Demikian pula dengan keragaman ketergantungan pada media massa sebagai sumber informasi dan panduan. Pada umumnya kelompok-elite dalam masyarakat akan memiliki lebih banyak kendali terhadap media, lebih banyak akses ke dalamnya, dan tidak terlalu tergantung pada media jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sementara kelompok elite cenderung untuk lebih memiliki akses kepada sumber informasi lain yang lebih cakap dan kompeten, nonelite terpaksa tergantung pada media massa atau sumber informasi perorangan yang biasanya kurang memadai. Media massa beragam dalam hal kuantitas, persebaran, reliabilitas, dan otoritas. Untuk kondisi tertentu atau dalam masyarakat tertentu media massa akan lebih berperan dalam memberikan informasi sosial politik dibandingkan dalam kondisi atau masyarakat lainnya. Selanjutnya, terdapat pula keragaman fungsi dari media massa untuk memenuhi berbagai kepentingan, selera, kebutuhan, dan sebagainya. H. SPIRAL OF SILENCE Teori spiral of silence atau spiral kebisuan berkaitan dengan pertanyaan mengenai bagaimana terbentuknya pendapat umum. Dikemukakan pertama Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 15 kali oleh Elizabeth Noelle-Neuman, sosiolog Jerman, pada tahun 1974, teori ini menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut terletak dalam suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antarpribadi, dan persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat. Teori ini mendasarkan asumsinya pada pemikiran sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan/ diharapkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan/anggap sebagai pendapat dari orang lain. Berangkat dari asumsi tersebut, spiral of silence selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh karenanya orang akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer. Jika orang merasakan bahwa pandangannya termasuk di antara yang tidak dominan atau tidak populer, maka is cenderung kurang berani mengekspresikannya, karena adanya ketakutan akan isolasi tersebut. Jumlah orang yang tidak secara terbuka mengekspresikan pendapat yang berbeda dan perubahan dari pendapat yang berbeda kepada pendapat yang dominan Sebaliknya, pendapat yang dominan akan menjadi semakin luas dan kuat. Semakin banyak orang merasakan kecenderungan ini dan menyesuaikan pendapatnya, maka satu kelompok pendapat akan menjadi dominan, sementara lainnya akan menyusut. Jadi kecenderungan seseorang untuk menyatakan pendapat dan orang lainnya menjadi diam akan mengawali suatu proses spiral yang meningkatkan kemapanan satu pendapat sebagai pendapat umum atau pendapat yang dominan. Tentunya persepsi individu bukan satu-satunya kekuatan yang bekerja dalam proses ini, dan media massa merupakan salah satu kekuatan lainnya. Apa yang menjadi pandangan yang dominan pada suatu waktu tertentu sering kali ditentukan oleh media. Kekuatan lain yang bekerja dalam proses ini adalah tingkat dukungan orang-orang dalam lingkungan seseorang. Ketika orangtinggal diam, orang-orang di sekelilingnya akan melakukan hal yang sama, dengan demikian definisi media massa atas suatu pandangan dan kurangnya dukungan yang diungkapkan Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 16 atas pandangan seseorang dalam komunikasi antarpribadi, akan semakin menguat dan menghasilkan spiral kebisuan tersebut. Noelle-Neuman mendukung asumsinya dengan mengacu pada berbagai perubahan selama kurun waktu tertentu mengenai beberapa pendapat umum yang menonjol di Jerman Barat. Sejumlah pembuktian yang dia kemukakan, menunjukkan hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap pendapat mayoritas, pengungkapan pendapat pribadi, kecenderungan dalam isi media, dan pendapat para jurnalis. Dalam kondisi tertentu, media massa tampak membentuk persepsi mengenai pendapat yang dominan dan karenanya mempengaruhi pendapat individu melalui cara-cara yang dijelaskan oleh teori spiral of silence ini. I. INFORMATION GAPS Dalam membahas efek jangka panjang komunikasi massa, tampaknya penting untuk dikemukakan suatu pokok bahasan yang disebut sebagai celah informasi atau celah pengetahuan (information atau knowledge gaps). Latar belakang pemikiran ini terbentuk oleh adanya arus informasi yang terus meningkat, yang sebagian besar dimungkinkan oleh media massa. Secara teoretis peningkatan ini akan menguntungkan setiap orang dalam masyarakat karena setiap individu memiliki kemungkinan untuk mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya atau di dunia, yang tentunya akan membantu dirinya dalam memperluas wawasan. Meskipun demikian, sejumlah peneliti menunjukkan bahwa peningkatan arus informasi sering kali menghasilkan efek negatif, di mana peningkatan pengetahuan pada kelompok tertentu akan jauh meninggalkan melebihi kelompok lainnya. Dalam hal seperti ini information gaps akan terjadi dan terus meningkat sehingga menimbulkan jarak antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain dalam hal pengetahuan mengenai suatu topik tertentu. Phillip Tichenor (1970) yang mengawali pemikiran tentang knowledge gaps ini menjelaskan bahwa ketika arus informasi dalam suatu sistem sosial meningkat, maka mereka yang berpendidikan yaitu mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik, akan lebih mudah, lebih cepat, dan lebih baik dalam menyerap informasi dibandingkan mereka yang kurang berpendidikan dengan status yang lebih rendah. Jadi, meningkatnya informasi akan menghasilkan melebarnya jurang/celah pengetahuan daripada mempersempitnya. Sementara itu Everett M. Rogers (1976) memperkuat asumsi tersebut dengan mengatakan bahwa informasi bukan hanya menghasilkan melebarnya knowledge gaps, tetapi juga gaps yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa komunikasi massa bukan satu-satunya penyebab terjadinya gaps tersebut, karena komunikasi langsung antar individu dapat memiliki efek yang serupa. Suatu konsep lain yang dikemukakan oleh sekelompok peneliti dari Swedia, menjelaskan tentang karakteristik dan sumber-sumber yang memungkinkan seseorang untuk memberi dan menerima informasi, dan yang membantu proses komunikasi bagi dirinya. Konsep yang disebut `potensi komunikasi' tersebut dipandang sebagai alat untuk mencapai/mendapatkan nilai-nilai tertentu dalam hidupnya. Ukuran dan bentuk potensi komunikasi tergantung pada tiga karakteristik utama, yaitu: Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 17 1. Karakteristik pribadi. Orang memiliki sekaligus kemampuan alamiah seperti melihat atau berbicara, dan kemampuan yang diperoleh melalui pembelajaran seperti berbicara dalam beberapa bahasa yang berbeda. Di samping itu is memiliki potensi komunikasi, pengetahuan, sikap, dan kepribadian tertentu. 2. Karakteristik seseorang tergantung pada posisi sosialnya. Posisi ini ditentukan oleh variabel-variabel seperti penghasilan, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. 3. Karakteristik dari struktur sosial di mana seseorang berada. Salah satu faktor penting adalah berfungsinya primary group (misalnya keluarga, kelompok kerja), dan secondary group (misalnya organisasi, sekolah, klub) dalam hal komunikasi. Dalam konteks ini, adalah relevan untuk menganggap masyarakat sebagai sistem komunikasi. Potensi tersebut dapat membawa pada pencapaian nilai-nilai dan tujuan- tujuan tertentu. Sebagai contoh, pembentukan identitas diri dan tumbuhnya solidaritas dapat mempengaruhi situasi kehidupan seseorang, dan dapat mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Jika kita tempatkan konsep di atas dalam konteks media massa, maka kita harus menganggap ketiga karakteristik tersebut sebagai variabel independen dan tingkat pencapaian nilai dan tujuan sebagai variabel dependen (efek/konsekuensi). Dalam perspektif yang lebih Was kita dapat mengasumsikan bahwa, jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan yang sistematis antara berbagai potensi komunikasi dari berbagai kelompok yang berbeda, maka akan menyebabkan terjadinya perbedaan yang sistematis pula dalam pencapaian tujuan dan nilai dari kelompok-kelompok tersebut. Pemikiran tentang adanya information gaps atau knowledge gaps dalam masyarakat ternyata belum cukup menjelaskan fenomena yang terjadi. Sebenarnya tidak hanya terdapat satu information gaps, tetapi banyak dan tidak sama antara satu dengan lainnya. Misalnya, ada gaps dalam informasi politik dan informasi tentang meningkatnya biaya hidup, dan biasanya gaps dalam informasi tentang situasi politik dunia lebih besar dibanding dengan gaps yang terjadi dalam informasi tentang kenaikan biaya hidup. Berangkat dari pemikiran tentang adanya berbagai information gaps dalam suatu masyarakat, kita akan menemukan pula bahwa gaps yang berbeda terjadi dalam berbagai bentuk dan cara yang berbeda pula. Selanjutnya, beberapa anggapan menyatakan bahwa gaps cenderung meningkat seiring dengan waktu. Dalam beberapa kasus tertentu hal ini dapat terjadi, namun Thunberg (1979) mengemukakan bahwa situasi sebaliknya dapat pula terjadi. Yaitu ketika gaps yang pada awalnya melebar akhirnya dapat menutup ketika kelompok yang status social ekonominya lebih rendah dapat menyusulnya. Dalam hal ini yang terjadi hanyalah persoalan waktu saja. Pada awalnya, ketika kelompok yang diuntungkan karena memiliki akses dan exposure pada komunikasi yang lebih baik (memiliki potensi komunikasi yang tinggi) dengan cepat mampu menyerap informasi tentang topik tertentu yang beredar dalam masyarakat. Meskipun demikian pada akhirnya kelompok yang memiliki potensi komunikasi rendah akan dapat menyusul penyerapan informasi tersebut sehingga gaps akan menutup. Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 18 Model semacam itu disebut memiliki ceiling effects, artinya ada plafon atau batas tertentu dalam penyerapan informasi. Ceiling effects terjadi jika potensi informasi mengenai suatu topik tertentu adalah terbatas. Mereka yang memiliki kapasitas yang besar dalam menyerap informasi, setelah sekian waktu tidak akan menemukan lagi informasi yang tersisa mengenai suatu topik tertentu. Hal ini menyebabkan kelompok dengan potensi komunikasi yang rendah akan mampu menyusulnya. Efek ini juga dapat terjadi jika kelompok yang potensial tidak lagi memiliki motivasi untuk mencari lebih banyak informasi, sementara kelompok yang kurang potensial masih termotivasi, sehingga dalam waktu tertentu mereka juga akan menjadi well informed. Meskipun demikian Donohue (1975) menegaskan bahwa tidak semua gaps dapat menutup. Beberapa penelitian yang dilakukannya di Amerika menunjukkan bahwa perhatian yang besar terhadap media menghasilkan pelebaran gaps antara mereka yang berpendidikan tinggi dengan mereka yang berpendidikan rendah. Diungkapkan pula bahwa ketika suatu topik tidak lagi menjadi pembicaraan umum, sehingga tidak ada lagi atau hanya sedikit orang yang masih membicarakannya, gap antara mereka yang memiliki potensi komunikasi tinggi dan mereka yang memiliki potensi komunikasi rendah akan tetap sama (tidak menutup) atau bahkan menjadi melebar. J. PENDEKATAN USES AND GRATIFICATIONS Jika dalam penelitian mengenai efek komunikasi massa sebelumnya kita berbicara mengenai apa yang dilakukan media terhadap orang/audience, maka pada pendekatan ini kita akan berbicara mengenai apa yang dilakukan orang terhadap media. Studi dalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) isi media untuk mendapatkan pemenuhan (gratification) atas kebutuhan seseorang. Dalam hal ini, sebagian besar perilaku audience akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan (interests) individu. Meskipun demikian perlu dipahami bahwa ini adalah suatu fenomena mengenai proses penerimaan (pesan dari media), oleh karenanya pendekatan ini tidak mencakup atau mewakili keseluruhan proses komunikasi. Denis McQuail (1981) menyebutkan adanya dua hal dibalik kebangkitan pendekatan ini. Pertama adalah adanya oposisi terhadap asumsi yang deterministik mengenai efek media, yang merupakan bagian dari dominannya peran individu yang kita kenal dalam model komunikasi dua tahap. Kedua, adanya keinginan untuk lepas dari perdebatan yang kering dan terasa steril mengenai penggunaan media massa yang hanya didasarkan atas selera individu. Dalam hal ini, pendekatan uses and gratifications memberikan suatu cara alternatif untuk memandang pada hubungan antara isi media dan audience, dan pengategorian isi media menurut fungsinya daripada sekedar tingkat selera yang berbeda. Meskipun masih diragukan adanya 'satu' model uses and gratifications ataukah ada banyak di antaranya, namun para ahli sependapat mengenai gagasan utama pendekatan ini. Katz (1974) menggambarkan logika yang mendasari penelitian mengenai media uses and gratifications sebagai berikut: (1) Kondisi social psikologis seseorang akan menyebabkan adanya (2) Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 19 kebutuhan, yang menciptakan (3) harapan-harapan terhadap (4)media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa kepada (5) perbedaan pola penggunaan media (atau keterlibatan dalam aktivitas lainnya) yang akhirnya kan menghasilkan (6) pemenuhan kebutuhan dan (7) konsekuensi lainnya, termasuk yang tidak diharapkan sebelumnya. Sebagai tambahan bagi elemen-elemen dasar tersebut di atas, penelitian uses and gratifications sering memasukkan unsur motif untuk memuaskan kebutuhan dan `alternatif-alternatif fungsional' untuk memenuhi kebutuhan. Sebagai misal, pada unsur yang terakhir, konsumsi terhadap jenis media tertentu (misalnya menonton TV) mungkin merupakan alternatif fungsional dari aktivitas kultural lainnya (misalnya mengikuti aktivitas sosial di lingkungan tempat tinggalnya). Suatu contoh mengenai cars berpikir uses and gratifications dapat diuraikan sebagai berikut. Seperti halnya manusia pada umumnya, seseorang memiliki kebutuhan mendasar terhadap interaksi sosial. Berdasarkan pengalaman, dia mengharapkan bahwa konsumsi atau penggunaan media tertentu akan memberikan sejumlah pemenuhan bagi kebutuhan ini. Hal ini akan membuatnya menonton acara TV tertentu, membaca artikel tertentu dalam majalah, dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, aktivitas ini dapat menghasilkan suatu pemenuhan kebutuhan, namun pada saat yang bersamaan aktivitas ini juga menciptakan ketergantungan pada media massa dan perubahan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan media massa oleh individu telah memberikan fungsi alternatif bagi interaksi sosial yang sesungguhnya. Versi lain dari pendekatan ini dikemukakan oleh Karl Erik Rosengren (1974) yang memodifikasi elemennya menjadi 11 elemen seperti yang dijabarkannya dalam model berikut: Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 20 Kebutuhan individu dianggap sebagai suatu titik awal. Meskipun demikian, tumbuhnya kebutuhan tentu saja tidak terjadi dalam situasi yang vakum, melainkan melalui interaksi dengan elemen-elemen di dalam dan di sekitar individu (kotak 2 dan 3). Dengan mengacu kepada hierarki kebutuhan Maslow, Rosengren mengemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan pada tataran yang lebih tinggi (kebutuhan akan teman, cinta, pengakuan, dan aktualisasi diri) adalah yang paling relevan bagi model uses and gratifications dibandingkan kebutuhan pada tataran yang lebih rendah (kebutuhan psikologis dan keamanan). Pada kotak 4, Rosengren memperkenalkan konsep persoalan Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 21 yang terjadi melalui interaksi antara kebutuhan, karakteristik individu, dan kondisi-kondisi lingkungan sosialnya. Tingkat kerumitan persoalan akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya, hal serupa berlaku pula dalam persepsi mengenai bagaimana persoalan tersebut dapat diselesaikan (kotak 5). Pada tingkat individual, persoalan-persoalan yang dirasakan dan solusinya dapat memberikan motif untuk bertindak (kotak 6). Meskipun motif mungkin sulit dipisahkan/ dibedakan dari kebutuhan dan persoalan, terutama dalam penelitian empiris, namun motif dapat diarahkan kepada berbagai tujuan pemenuhan atau jenis-jenis solusi persoalan. Sejumlah penelitian memberikan beberapa contoh mengenai hal ini: mengalami situasi sosial tertentu yang penuh dengan konflik dan tekanan, individu akan memiliki motif untuk relaks dengan mengonsumsi media; individu sadar akan adanya persoalan-persoalan dalam masyarakat, oleh karenanya termotivasi untuk mencari informasi untuk mendapatkan orientasi melalui media massa; individu yang kurang memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan interaksinya secara wajar (nyata) akan termotivasi untuk menggunakan jenis isi media tertentu (misalnya drama televisi). Dengan demikian, persoalan yang membawa pada motif tertentu akan menyebabkan tindakan dalam bentuk konsumsi media atau perilaku lainnya (kotak 7 dan 8). Karena kebutuhan, persoalan, dan motif berbeda bagi individu atau kelompok yang berbeda maka hasilnya adalah pola-pola perilaku yang berbeda pula. Sejumlah orang akan mencari sesuatu yang menghibur, lainnya memilih informasi, dan sejumlah lainnya bahkan tidak menggunakan media sama sekali. Kotak 9 menyatakan bahwa perbedaan pola pemenuhan (termasuk kemungkinan tidak tercapainya pemenuhan) merupakan hasil dari proses tersebut. Sementara kotak 10 dan 11 berkaitan dengan efek dari proses tersebut. Keseluruhan proses ini menunjukkan bahwa uses and gratifications dapat mempengaruhi masyarakat dan media yang beroperasi di dalamnya. Pendekatan uses and gratifications ditujukan untuk menggambarkan proses penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan penggunaan media oleh individu atau agregasi individu. Pendekatan ini telah memberikan kerangka kerja bagi berbagai jenis studi yang berbeda, beberapa di antara yang menonjol adalah: Studi yang dilakukan Katz dan Gurevitch (1977) untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan dari beberapa media yang berbeda, terutama mengenai fungsi dan karakteristik lainnya, menghasilkan suatu model sederhana di mana orang dapat melihat media mana yang menunjukkan kesamaan dengan media lainnya. Dalam suatu studi mengenai penggunaan televisi oleh anak, Brown (1976) menemukan arti penting media tersebut yang bersifat multi fungsi dan memberikan kepuasan bagi kebanyakan anak pada umumnya, seperti mengajarkan tentang bagaimana orang lain menjalani hidupnya atau memberikan suatu bahan pembicaraan dengan teman-temannya. Dalam suatu studi mengenai reaksi audience selama terjadi pemogokan di surat kabar, Berelson (1949) menemukan bahwa surat kabar harian dapat memenuhi kebutuhan pembacanya akan fungsi-fungsi berikut: memberikan Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 22 informasi dan interpretasi mengenai hal-hal yang terjadi dalam masyarakat, sebagai alat bagi kehidupan sehari-hari dan sumber relaksasi, memberikan prestise sosial, memberikan kontak sosial, dan digunakan sebagai bagian dari ritual sehari-hari. K. TEORI USES AND EFFECTS Pemikiran yang pertama kali dikemukakan oleh Sven Windahl (1979) ini merupakan sintesis antara pendekatan uses and gratifications dan teori tradisional mengenai efek. Konsep 'use' (penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting atau pokok dari permikiran ini. Karena pengetahuan mengenai penggunaan media dan penyebabnya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan tentang hasil dari suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media massa' dapat memiliki banyak arti. Ini dapat berarti exposure' yang semata-mata menunjuk pada tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tersebut dapat menjadi suatu proses yang lebih kompleks, di mana isi tertentu dikonsumsi dalam kondisi tertentu, untuk memenuhi fungsi tertentu dan terkait harapan-harapan tertentu untuk dapat dipenuhi. Fokus dari teori ini lebih kepada pengertian yang kedua. Dalam uses and gratifications, penggunaan media pada dasarnya ditentukan oleh kebutuhan dasar individu, Sementara pada uses and effects kebutuhan hanya salah satu dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penggunaan media. Karakteristik individu, harapan dan persepsi terhadap media, dan tingkat akses kepada media, akan membawa individu kepada keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan isi media massa. Hasil dari proses komunikasi massa dan kaitannya dengan penggunaan media akan membawa pada bagian penting berikutnya dari teori ini. Hubungan antara penggunaan dan hasilnya, dengan memperhitungkan pula isi media, memiliki beberapa bentuk yang berbeda, yaitu: 1. Pada kebanyakan teori efek tradisional, karakteristik isi media menentukan sebagian besar dari hasil. Dalam hal ini, penggunaan media hanya dianggap sebagai faktor perantara, dan hasil dari proses tersebut dinamakan efek. Dalam pengertian ini pula, uses and gratifications hanya akan dianggap berperan sebagai perantara, yang memperkuat atau melemahkan efek dari isi media. 2. Dalam berbagai proses, hasil lebih merupakan akibat penggunaan daripada karakteristik isi media. Penggunaan media dapat mengecualikan, mencegah atau mengurangi aktivitas Iainnya, di samping dapat pula memiliki konsekuensi psikologis seperti ketergantungan pada media tertentu. Jika penggunaan merupakan penyebab utama dari hasil maka is disebut konsekuensi. 3. Kita dapat juga beranggapan bahwa hasil ditentukan sebagian oleh isi media (melalui perantaraan penggunaannya) dan sebagian lain oleh penggunaan media itu sendiri. Oleh karenanya ada dua proses yang bekerja secara serempak, yang bersama-sama menyebabkan terjadinya suatu hasil yang kita sebut `conseffects' (gabungan antara konsekuensi dan efek). Proses pendidikan biasanya menyebabkan hasil yang berbentuk 'conseffects'. Di mana sebagian dari hasil disebabkan oleh isi yang mendorong pembelajaran (efek), dan sebagian lain merupakan hasil Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 23 dari suatu proses penggunaan media yang secara otomatis mengakumulasikan dan menyimpan pengetahuan. Ilustrasi mengenai hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Hasil-hasil ini dapat ditemukan pada tataran individu maupun tataran masyarakat. Gambaran selengkapnya dapat disimak pada diagram berikut: Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 24 L. INFORMATION SEEKING Dalam masyarakat kita, informasi dalam berbagai bentuknya dan dalam jumlah yang sangat besar diproduksi, didistribusikan, disimpan, dan diterima. Pada saat yang bersamaan, akan menjadi semakin sulit bagi individu untuk menemukan informasi yang relevan. Kondisi ini telah mengarahkan perhatian para ahli untuk memahami bagaimana orang mencari informasi. Information seeking inemiliki beberapa keterkaitan dengan teori sebelumnya, Teori difusi Bering kali menyentuh proses pencarian informasi. Uses and Gratifications dianggap memberikan kerangka bagi studi mengenai proses pencarian informasi. Demikian pula dengan teori-teori `congruence' yang menjelaskan pengorganisasian sikap, seperti misalnya teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh Festinger. Teori information seeking yang dikemukakan di sini, yaitu dari Donohew dan Tipton (1973), yang menjelaskan tentang pencarian, penghindaran, dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial tentang kesesuaian sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of reality-nya karena terasa membahayakan. Beberapa konsep utama dari teori ini antara lain adalah image atau image of reality. Pertama-tama, konsep image ini mengacu pada pengalaman yang diperoleh sepanjang hidup seseorang dan terdiri dari berbagai tujuan, keyakinan, dan pengetahuan yang telah diperolehnya. Bagian kedua dari image terdiri dari konsep diri seseorang, termasuk evaluasinya terhadap kemampuan dirinya dalam mengatasi berbagai situasi. Ketiga, image of reality terdiri dari suatu perangkat penggunaan informasi yang mengatur perilaku seseorang dalam mencari dan memproses informasi. Ketika mencari informasi, individu dapat memilih di antara berbagai strategi yang dalam teori ini dibedakan antara strategi luas dan sempit. Pada strategi yang luas, individu pertama-tama akan membuat suatu daftar mengenai sumber-sumber informasi yang memungkinkan, mengevaluasinya, dan memilih sumber mana yang akan digunakannya. Dalam strategi yang sempit, satu sumber digunakan sebagai titik awal, dan pencarian Iebih lanjut dilakukan dengan menempatkan sumber tersebut sebagai basisnya. Pencarian informasi akan dilakukan sampai pada tahap yang disebut `closure' di mana seseorang akan berhenti mencari lebih banyak informasi. Proses pencarian informasi oleh Donohew dan Tipton dijelaskan dalam beberapa tahapan. Proses dimulai ketika individu diterpa oleh sejumlah stimuli. Kepada stimuli tersebut, individu dapat memperhatikan atau tidak memperhatikan, dan pilihan pada salah satunya sebagian ditentukan oleh karakteristik dari stimuli tersebut. Pada tahap berikutnya, terjadi suatu perbandingan antara stimuli (informasi) dan `image of reality' yang dimiliki individu tersebut. Di sini diuji tingkat relevansi dan konsistensi antara image dan stimuli. Materi/informasi yang terlalu berbahaya atau tidak penting akan tersaring keluar, demikian pula dengan stimuli yang dianggap monoton karena tingkat konsistensinya yang tinggi. Jika stimuli diabaikan maka proses ini otomatis berhenti. Berikutnya muncul persoalan tentang apakah stimuli tersebut menuntut suatu tindakan. Jika jawabnya adalah tidak, maka efek dari stimuli mungkin adalah membentuk suatu bagian tambahan dari image. Sedangkan jika Teori Komunikasi Massa: Media, Efek, dan Audience Bacaan Kuliah Teori Komunikasi Page 25 jawabnya adalah `ya', maka perangkat dari image of reality, seperti pengalaman, konsep diri, dan gaga pemrosesan informasi akan mempengaruhi tindakan apa yang harus dilakukan. Seandainya dalam menilai suatu situasi, seseorang memberikan prioritas lebih pada suatu stimuli dibandingkan stimuli lainnya, maka dia dapat memilih untuk mencukupkan pencarian informasinya atau mencari informasi lebih jauh. Dalam hal yang kedua, orang tersebut harus menentukan kebutuhan-kebutuhan informasinya dan menilai sumber-sumber yang potensial untuk menjawab kebutuhannya. Seandainya terdapat lebih dari satu sumber informasi yang potensial, orang tersebut harus memikirkan strategi informasi apa yang dipilih (luas atau sempit). Apa pun pilihan strateginya, seseorang akan mencapai titik di mana dia sudah merasa cukup mendapatkan informasi, yang biasanya akan dilanjutkan dengan dilakukannya suatu tindakan. Dalam kedua strategi tersebut, seseorang mungkin akan melalui sejumlah `information-seeking loops' sebelum dia merasa cukup (closure). Setelah melakukan tindakan, seseorang mungkin akan memerlukan umpan balik (feedback) dari tindakannya, yang memungkinkan untuk mengevaluasi efektivitas tindakannya. Di sini dia juga dapat menilai apakah informasi yang diperolehnya berguna dan relevan bagi tindakan yang dia lakukan. Pada bagian terakhir, proses ini dapat menghasilkan revisi pada image of reality seseorang. Pengalaman barunya dapat mengubah persepsinya terhadap lingkungan dan konsep diri yang telah dimiliki. Sebagai hasil dari suatu proses yang bekerja secara utuh, gaya/cara pencarian informasinya dapat juga dimodifikasi atau diperkuat. Untuk memudahkan pemahaman, kita akan mencoba menerapkan teori ini dalam contoh berikut: Seorang petani menemukan adanya gejala hama yang menyerang padi di sawahnya (stimuli). Dia akan menganggap hal ini relevan dan memberikan prioritas tinggi pada informasi mengenai hama tersebut. Melihat situasi seperti itu, dia merasa bahwa informasi yang dimilikinya belum cukup dan mempertimbangkan sumber-sumber informasi apa yang dapat dipergunakannya. Dia memutuskan untuk menggunakan strategi sempit, di mana dia lalu menghubungi Dinas Pertanian setempat. Selanjutnya oleh Dinas tersebut dia disarankan untuk menghubungi seorang ahli hama pertanian yang kemudian memberikan informasi yang dia butuhkan. Ketika sekali lagi dia mengevaluasi situasi yang dihadapinya, dia merasa telah mendapatkan cukup informasi (closure), dan dia lalu bertindak sesuai dengan informasi yang telah diperolehnya. Persoalan hama teratasi dan petani tersebut menganggap tindakan yang dia lakukan adalah tepat, demikian pula dengan informasi yang diperolehnya. Akhirnya, image of reality-nya telah sedikit berubah, sesuai dengan pengalaman barunya.